DALAM bentangan sejarah muncul begitu banyak pandangan pincang tentang perempuan. Beberapa di antaranya kita sebutkan di sini. Menurut Plato, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.
Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal. "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya," tulis Nietzsche.
Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama.
Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek persetubuhan adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral". Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya.
Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa," kata Tertulianus.
Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian).
Sekarang, pandangan-pandangan minor seperti ini nyaris tak terdengar lagi. Tetapi praktek-praktek pelecehan dan bersifat merendahkan kaum perempuan masih terjadi dan terus terjadi. Dalam hampir semua sektor kehidupan, kaum perempuan masih diposisikan pada tempat nomor dua.
Di pabrik-pabrik, misalnya, gaji perempuan masih lebih kecil dari pria, meski porsi dan beban kerjanya sama. Di bidang politik, kita juga melihat betapa sulitnya nama perempuan menempati nomor urut satu dalam pemilihan legislatif. Di bidang pemerintahan juga sama. Perempuan yang bisa menduduki eselon II masih sangat terbatas.
Di rumah juga sama. Meski bersuamikan pria yang mengerti dengan pendidikan yang baik, para istri juga masih berkutat seputar sumur dan dapur. Banyak istri yang luang lingkupnya masih di wilayah domestik.
Pertanyaan pentingnya, mengapa semua ini masih terus terjadi? Ada pandangan yang mengatakan bahwa semuanya adalah normal, apa adanya. Sudah given, terberi. Sudah seperti itu. Tidak perlu dipersoalkan. Artinya, posisi perempuan yang terendahkan, terkebelakang bukan masalah. Dan, banyak perempuan juga menerima pandangan ini.
Tetapi pandangan ini ditentang arus besar yang namanya feminisme. Inti gerakan ini adalah perjuangan gender. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Tidak ada perbedaan. Perbedaan jenis kelamin adalah perbedaan yang sifatnya kodrati, yang memang tidak mungkin disamakan. Kita dukung perjuangan gender.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis perjuangan gender kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Kita dukung perjuangan gender sejauh itu diletakkan dalam kerangka menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kita dukung perjuangan gender asalkan itu tidak diidentikkan dengan peranan kodrati.
Di hari istimewa, 21 April yang kita rayakan sebagai Hari Kartini ini, pantaslah semua kita yang lahir dari rahim seorang perempuan memberi hormat dan penghargaan yang tinggi kepada semua perempuan. Selamat merayakan Hari Kartini kepada semua perempuan. *
Pos Kupang, 21 April 2010
Hormat kepada Kaum Perempuan
Selasa, 27 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar