ADA berita kurang enak dari Kabupaten Kupang dalam pekan ini, tepatnya Selasa (21/4/2009) lalu. Diberitakan bahwa terjadi insiden antara Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, MS, Ph.D dengan Ketua Bappeda Kabupaten Kupang, Ir. Yutje Adoe.
Kedua belah pihak telah menyelesaikan insiden ini. Bupati Titu Eki menyebut kejadian ini sebagai sesuatu yang manusiawi dan karena itu telah diselesaikan dan dianggap tidak ada soal lagi. Meski begitu, kejadian itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu yang bias dari praktek birokrasi di daerah ini.
Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi di NTT. Tiga tahun lalu, ketika Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon, merampingkan struktur birokrasi di Flotim, muncul resistensi begitu kuat dari pejabat yang tak bisa diakomodir dalam struktur pemerintahan. Kasus Larantuka bahkan sampai di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Di Timor Tengah Selatan (TTS), Bupati Paul Mella juga 'menurunkan' beberapa pejabat eselon II ke III. Kebijakan para kepala daerah seperti ini terjadi sebagai akibat dari penerapan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Kebijakan penurunan eselon yang menimpa pejabat pemerintah sebenarnya tidak perlu terjadi jika dan hanya jika birokrasi bebas dan dijauhkan dari pengaruh politis. Di NTT, setiap kali musim pilkada, para pejabat pemerintah (PNS) yang sejatinya mesti netral ramai-ramai terlibat dan melibatkan diri dengan menjadi tim sukses calon kepala daerah tertentu. Ketika seorang pejabat pemerintah memutuskan mendukung dan menjadi tim sukses seorang calon kepala daerah, ketika itu juga dia tidak netral lagi.
Dampaknya bisa diduga. Kepala daerah terpilih akan mengakomodir tim suksesnya dalam kabinet pemerintahannya, lepas dari bagaimana bobot dan kemampuannya. Sebaliknya para pejabat yang bukan tim suksesnya akan ditendang jauh, meskipun mungkin lebih berkualitas dari pejabat yang diakomodir.
Ada banyak permainan bahasa yang kemudian dipakai para kepala daerah untuk 'melindungi' kebijakannya seperti ini. Tetapi sesungguhnya, kebijakan seperti ini tidak akan banyak membantu meningkatkan pelayanan publik. Padahal, birokrasi dan organ-organnya diadakan dengan satu maksud, yakni melayani publik. Itulah sebabnya, dalam terminologi asing pegawai negeri itu disebut civil servants (pelayan publik).
Terkait dengan kejadian-kejadian seperti ini, ada dua hal yang perlu kita kemukakan di ruang ini. Pertama, perlu ada gerakan netralitas birokrasi. Netralitas murni tentu mustahil. Karena bagaimana pun para pejabat yang ditunjuk dan dilantik mesti mendukung kepala daerah. Tetapi kita membutuhkan pejabat yang menomorsatukan pelayanan publik, bukan loyalitas kepala kepala daerah. Artinya, setiap pejabat pemerintah, dan juga para pegawai pemerintah, mestinya lebih takut kepada masyarakat ketimbang takut kepada kepala daerah.
Karena itu kita butuh perubahan sikap, tingkah laku dan orientasi budaya pegawai pemerintah mendukung netralitas birokrasi. Hanya birokrasi yang netral saja yang bisa menghasilkan pelayanan publik yang transparan, efektif, efisien, profesional dan akuntabel. Hanya birokrasi yang netral saja yang menciptakan good governance, pemerintahan yang berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Good governance akan menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat (state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan politik. Birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan.
Kedua, kita ingin agar para kepala daerah menerapkan merit system dalam tubuh birokrasi. Merit system adalah proses promosi dan memanfaatkan pegawai pemerintah berdasarkan pada kapasitas mereka melaksanakan tugas, bukan terutama pada hubungan politis mereka dengan kepala daerah.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. Selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat di antara para pegawai pemerintah, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang pejabat menduduki suatu jabatan.
Kita butuh kepala daerah yang berani dan tegas menggunakan sistem ini sehingga mutu pelayanan kepada masyarakat terjamin. Artinya, setiap pejabat yang dipercayakan memegang suatu jabatan adalah pejabat yang telah lulus uji. Ujian bagi dia adalah kemampuan, kompetensi, integritas moral. Bukan sebaliknya kedekatan, keluarga, etnis atau suku. *
Pos Kupang, Sabtu 25 April 2009
Ubah Orientasi Budaya PNS
Jumat, 24 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar