DALAM tata kehidupan bersama, aturan hukum memainkan peranan yang sangat penting. Sulit dibayangkan suatu masyarakat tanpa adanya seperangkat aturan hukum yang mengatur. Masyarakat tanpa hukum adalah masyarakat rimba yang ganas, yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak, menonorsatukan emosi ketimbang rasio.
Secara intrinsik hukum sekurang-kurangnya mempunyai dua tujuan. Pertama, hukum melindungi manusia terhadap keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Hukum merumuskan secara obyektif, yaitu atas cara yang tidak tergantung dari rasa suka atau tidak suka, apa yang dilakukan atau dihindari manusia.
Kedua, hukum menciptakan suatu suasana pasti di antara manusia. Sebab ada aturan dan norma yang berlaku dan bersifat wajib.
Jika kedua tujuan hukum ini dipahami dan diterima serta dihayati dalam praktek hidup, niscaya akan terdapat harmoni dalam tata kehidupan bersama. Sayang, apa yang ada dalam tataran ideal, umumnya mentah dalam praktek. Dalam praktek sekian sering hukum dipandang sebagai batu sandungan. Maka yang terlihat dalam proses hidup bermasyarakat adalah legalisme, kemunafikan dan kepicikan. Akibat lanjutannya lebih jelek lagi. Hukum bukan cuma tidak ditaati, tetapi dipermainkan seenak perut.
Dalam kerangka berpikir seperti ini kita coba melihat kekisruhan yang terjadi di Kota Maumere, Sikka. Dari warta di harian ini edisi Selasa (3/3/2009), kita baca tentang aksi penertiban yang dilakukan Satpol PP Sikka dengan para pedagang yang dikategori liar. Para pedagang liar ini berjualan di lokasi yang bukan tempatnya. Mereka berjualan di emperan toko, di tikungan- tikungan jalan. Dalam aksi penertiban, Selasa (3/3/2009) pagi, juga nyaris terjadi kericuhan antara para penjual ikan dengan petugas.
Sudah lama urusan pedagang, urusan pasar dan urusan tertib menertibkan akrab dengan Kota Maumere. Hari ini tertibkan pedagang, besok tertibkan babi dan kambing yang berkeliaran bebas di tengah kota, dari toko ke toko membaur dengan manusia. Bahkan, pernah terjadi, salah seorang pejabat pemerintah pimpin aksi pengejaran ternak-ternak liar yang berkeliaran liar di tengah kota.
Kita prihatin juga dengan pemerintah setempat yang hampir saban bulan menguras energi dan memeras keringat untuk menertibkan apa yang perlu ditertibkan karena melanggar. Kita prihatin karena di milenium tiga ini, tata cara, pola hidup ala kota belum terlihat di Maumere. Wajah Kota Maumere akhirnya kuat mencerminkan suasana perkampungan, yang jauh dari kesan modern, bersih, tertib yang semuanya menjadi ciri sebuah kota modern.
Di Sikka, sebetulnya pemkab setempat telah menerbitkan Perda No. 10/2007 Tentang Ketertiban Umum. Dalam perda ini diatur banyak hal menyangkut ketertiban umum. Sudah tentu perda ini lahir pertama-tama sebagai respons atas kondisi ketidaktertiban yang ada di tengah masyarakat.
Karena itu, adalah janggal dan aneh kalau perda itu kembali dilanggar warga. Sikap warga yang melanggar aturan yang dibutuhkannya sendiri sekaligus menjadi titik lemah dari ketaatan warga setempat terhadap aturan.
Di mana-mana di dunia ini, hukum dan aturan ada demi kepentingan manusia. Dia perlu ada agar terjadi harmoni di tengah masyarakat. Dia mesti ada agar harmoni tidak berubah menjadi disharmoni. Boleh jadi ada sisi kurang dari suatu perangkat hukum. Tetapi keberadaannya secara intrinsik telah bisa menjadi jaminan adanya harmoni di tengah masyarakat.
Sudah sejak dulu, Maumere tenar ke luar propinsi. Namanya menggema meninggalkan kota lain di NTT. Nama Maumere bahkan lebih tenar dari Kupang. Itu karena seabrek prestasi, juga karena sejumlah tokoh penting lahir dari rahim Sikka. Tahun 1988, Tahun Maria Nasional digelar di Maumere. Setahun kemudian, 1989, mendiang Paus Johannes Paulus II, menjejak kaki di bumi Sikka.
Kita sengaja menyebut sejarah nostalgik ini dengan satu harapan, semoga pola pikir dan modus vivendi warga Sikka dan Maumere khususnya, mencerminkan gaya hidup orang kota, yang mengerti aturan, mengerti ketertiban dan kepentingan umum. Warga kota yang baik adalah warga yang taat aturan, tertib hukum, punya solidaritas dengan tetangga, menghargai dan mengerti kepentingan orang lain dan bukan cuma ingat diri, hanya minta dimengerti, apatis dengan kepentingan umum, cuek dengan sesama yang lain. *
Pos Kupang, 5 Maret 2009
Hukum dan Harmoni Masyarakat
Kamis, 16 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar