Oleh Tony Kleden
SALAH satu bencana kelaparan terparah di Eropa terjadi pada tahun 1846 - 1850 di Irlandia. Ladang kentang yang merupakan makanan pokok warga gagal panen akibat hama. Kejadian itu jelas merupakan bencana alam. Tetapi kematian sekitar 2 juta orang akibat kelaparan itu jelas bukan sekadar bencana alam.
Selama bencana kelaparan itu, sebenarnya ada cukup makanan untuk memberi makan dua kali jumlah penduduk yang berjumlah 8 juta orang. Tetapi ekspor besar-besaran bahan makanan mulai dari gandum, oat, barley (jenis gandum yang dipakai untuk membuat bir), ternak, telur dan mentega berlangsung terus. Gandum dan barley dianggap sebagai hasil bumi perdagangan dan hanya ditanam untuk ekspor. Petani Irlandia tidak pernah memakannya karena mereka hanya bekerja untuk tuan tanah.
Sampai sekarang, di negara-negara berkembang pun para petani masih juga belum beruntung nasibnya. Sungguh sangat ironis, para petani yang adalah penghasil pangan manusia adalah kelompok pertama yang menderita kelaparan. Tentu banyak sebab dan alasan mengapa kaum petani dalam sejarahnya selalu berada pada posisi kurang beruntung, meski -- sekali lagi-- mereka adalah produsen pangan dunia. Kelaparan, gizi buruk, gizi kurang, nyatanya, lebih banyak menimpa para petani.
Tetapi pengalaman Irlandia dan fakta di negara-negara berkembang membuka mata kita bahwa persoalan kecukupan pangan, masalah gizi buruk lebih disebabkan oleh sesat pikir dan salah urus ketimbang karena kemiskinan atau infrastruktur yang tidak memadai.
Lapar, kelaparan, karena itu, seolah telah menjadi hal yang biasa buat kebanyakan orang, termasuk warga NTT. Hampir saban tahun, berita kelaparan menghiasi halaman surat kabar dan layar televisi. Mengapa kelaparan itu kerap menjadi pengalaman faktual di daerah ini? Apakah memang kelaparan itu bagian yang niscaya buat kita? Apakah kita, karena itu, hanya bisa berpasrah diri dan menerima kelaparan, paceklik sebagai kondisi yang given?
Buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur diterbitkan tidak terutama untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Tetapi buku ini hadir dengan pandangan, perspektif, pemikiran dan jalan lain untuk soal yang sama, yakni ihwal tentang pangan, tentang kelaparan, tentang pertanian, tentang gizi buruk itu.
Lima puluh tahun dalam judul buku ini disengajakan dengan maksud memberi tekanan bahwa propinsi ini tahun lalu telah menjejak langkahnya di usianya yang ke-50 tahun. Usia emas. Belum tua, sebenarnya. Tetapi rasanya sudah terlalu lama untuk tetap dalam kondisi periferal akibat deraan kelaparan dan kemiskinan.
Ada banyak gagasan, sumbangan ide, alternatif pemikiran tersaji dalam buku yang, menurut rencana, akan diluncurkan berbarengan dengan diskusi tentang pangan lokal di Kupang, Selasa (14/7/2009) pekan depan. Beragam gagasan, setumpuk ide, sejumlah pemikiran alternatif semuanya bermuara pada satu harapan, yakni kekurangan pangan janganlah menjadi masalah yang masif di daerah ini.
Harapan ini sangat penting dan vital. Karena telah sekian lama kita didera dan dikerangkeng dalam pola pikir yang melihat bahwa kelaparan dan kemiskinan adalah bagian hakiki dan inheren, yang seolah telah menjadi suratan tangan kita. Pola pemikiran ini kemudian melemahkan semangat dan membutakan mata kita untuk melihat jalan lain di tengah apa yang telah biasa itu. Dalam deraan pemikiran seperti ini kita kemudian mulai cenderung mempersalahkan iklim, musim kering, topografi, curah hujan dan lingkungan yang dinilai tidak kondusif.
Apakah alam memang salah? Alam tidak pernah salah. Kita juga tidak pernah salah dilahirkan di dan menjadi orang NTT. Yang salah adalah ketidakmampuan kita menyesuaikan diri dengan alam, dengan iklim, dengan musim kering, dengan topografi.
Sikap mempersalahkan iklim dan musim ini bisa dijawab dengan hukum SPITZ. Untuk mereka yang suka mempersalahkan iklim dan musim kering, Pierre Spitz memperkenalkan model yang mengaitkan dampak dari musim kering yang menimpa petani dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sendiri. Hukum Spitz sendiri berbunyi demikian: Dalam sistem ekonomi kapitalis, upaya pemenuhan kebutuhan sendiri cenderung menjadi hilang atau tak berarti (Self Provisioning Intensity Tends to Zero/SPITZ).
Aksentuasi dari hukum ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat industri, secara praktis hampir-hampir tidak ada lagi petani yang membuat roti sendiri dari tepung yang diolah sendiri. Mereka lebih suka menjual gandum hasil kebun mereka lalu membeli roti dari toko. Begitu juga dengan hasil pertanian yang lain. Dengan kata lain, para petani ini secara total telah hidup di sebuah dunia serba uang.
Kita bukan hidup di negara atau daerah industri. Tetapi efek hukum SPITZ sepertinya telah menerpa kita. Buktinya, pangan lokal yang ada banyak pada kita, tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan kita sendiri. Perilaku kita sama dengan 'masyarakat malas' di negara industri, menjual hasil kebun dan membeli barang-barang toko yang sejatinya diimpor dari luar. Penduduk desa memanen dan menjual pisang untuk kemudian membeli pisang goreng dan molen. Asam terbuang-buang di hutan di pedalaman Timor, dibiarkan begitu saja. Tetapi lidah kita sangat doyan dengan manisan asam dari Surabaya di toko dan mal. Bertruk-truk pisang dari Flores menuju Bali dan Surabaya, kemudian balik lagi ke Flores dalam bentuk keripik pisang. Jagung di desa-desa banyak dan dibiarkan sampai rusak. Tetapi anak-anak sekolah kita sangat gemar mengunyah emping jagung dari Surabaya. Ubi kayu, kestela dan talas kita berlimpah, tetapi roti telah menjadi simbol modernisme yang ditunjukkan kepada setiap tamu yang datang ke rumah. Di Flores, alpukat jadi makanan babi karena tidak bisa dipasarkan. Tetapi kalau ke Jakarta, kita suka menikmati jus alpukat dari Israel yang kurus- kurus.
Ubi, jagung, talas, pisang, kelapa, kestela, alpukat adalah tanaman khas kita yang bisa diolah jadi bahan makanan kita. Tetapi itu sepertinya sulit dilakukan. Mengapa? Karena pangan telah kita reduksi hanya menjadi beras. Pertanian direduksi menjadi sistem sawah yang monokultur. Dan, tanpa kita sadari sepenuhnya sistem pangan dalam keseharian kita kini didominasi oleh gandum dan hasil gandum. Tak aneh, petani sekarang 'memanen' raskin di kantor lurah dan desa. Konyol!
Hukum SPITZ sangat kuat kita anut. Tidak percaya? Sumbangan bahan makanan untuk anak-anak di daerah ini yang mengalami kekurangan gizi diberikan dalam bentuk biskuit yang tidak diproduksi di sini. Makanan ringan (snak) yang kita santap setiap kali rehat suatu acara lebih banyak mengandung gandum ketimbang bahan lokal.
Maka ketika duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay mengajak seluruh warga daerah ini kembali ke pangan lokal, kita merasa seolah kembali ke jati diri sendiri, kembali menjadi orang NTT, kembali menjejakkan kaki di bumi NTT yang telah menyediakan sejumlah pangan lokal yang khas daerah ini.
Nah, seperti apa pangan lokal itu, apa saja kandungan nilai gizinya, bagaimana mesti menggalakkan warga daerah ini untuk kembali ke pangan lokal, bisa Anda temukan dalam buku ini. Belum tuntas memang, tetapi sekurang-kurangnya buku ini telah menyadarkan Anda dan siapa saja yang membacanya untuk tidak terjebak dalam hukum SPITZ. Sebaliknya buku ini semakin kuat mengasah spiritual capital Anda untuk dengan bangga dan lantang mengatakan, saya orang NTT. *
Pos Kupang, Sabtu 11 Juli 2009
Pangan dan Hukum SPITZ
Kamis, 16 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ngeposting ko hasil copy-paste .. kasian orang yang ingin cari referensi kalo penulisnya ga kreatif .. mending ga usah ngeposting lagi kalo ga bisa bikin tulisan ..
18 November 2013 pukul 23.14