Ignas Kleden
DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan 
kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan 
rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari 
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.
Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal 
umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas 
bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya 
dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang 
baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk 
dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. 
Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak 
termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.
Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo 
mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang 
keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi 
pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam 
kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, 
adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan 
mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.
Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian 
tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi 
organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra 
di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa 
itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota 
Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat 
itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak 
berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo 
masih dipimpin oleh para ningrat.
Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul 
kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 
28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah 
Indonesia… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa 
persatuan, bahasa Indonesia”.
Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya 
seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan 
antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan 
dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang 
proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang 
mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara 
politik.
Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki 
alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan 
dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, 
memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, 
modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga 
serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan 
oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik 
modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu 
bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.
Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme 
adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem 
kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke 
dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan 
kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.
Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada 
tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk 
bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras 
putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia 
Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the 
rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno 
setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang 
bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).
Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau 
menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. 
Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, 
memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.
Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara 
dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status 
homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi 
sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga 
sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu 
masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke 
sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang 
berbangsa.
Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, 
apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik 
mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan 
dalam perjuangan politik.
Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat 
berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir 
mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir 
politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi 
pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk 
memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang 
dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak 
disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun 
demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat 
belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam 
filsafat serta ilmu pengetahuan.
Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta 
orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua 
bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai 
“Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan 
Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan 
di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor 
Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi 
Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia” 
lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 
1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta 
orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.
Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam 
arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan 
geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari 
kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika” 
dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari 
Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.
R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, 
”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. 
Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan 
kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. 
Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi 
cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”
Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata 
distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini 
sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Mencari Bangsa dalam Bahasa
Minggu, 02 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
0 komentar:
Posting Komentar