Oleh Andi Hayong
Barangkali judul ini kedengaran janggal karena bukankah sastra selalu diartikan sebagai pelayan politik. Politik dalam arti seluas-luasnya, menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Politik sebagai hakekat kehidupan manusia, sebagaimana dikatakan Aristoteles 'Man is by nature is political man.' Atau sebagaimana dilontarkan oleh Anthony Giddens bahwa politik tidak hanya dilihat secara emansipatorik (politics of life chances) tetapi juga sebagai politik kehidupan (politics of a life style).
Bila paradigma pertama mau menghapus eksploitasi dan penindasan maka model kedua lebih menekankan pada aktualisasi diri. (bdk. Anthony Giddens, Modernity and Self Identity-Self and Society in the Last Modern Age, Hlm. 209-231).
Kalau melihat politik dalam defenisi seperti ini maka dapat dikatakan bahwa pergulatan sastra Indonesia tak lepas dari sepak terjang dunia politik dalam arti luas itu. Hal yang juga diakui oleh Sapardi Djoko Damono bahwa sastra Indonesia sejak zaman penjajah selalu berbicara tentang kehidupan masyarakat, kritik sosial. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh maka paradigma berpikir, pola kultural yang hidup hingga saat ini tak lepas dari dunia sastra. La Galigo karya sastra besar, konon lariknya melampaui epos Mahabrata atau Illias dan Odeysey, yaitu 300 ribu larik, hidup dalam budaya Bugis semenjak abad awal Masehi dikatakan sebagai roh yang menjiwai hidup orang-orang Bugis (Lih. Majalah Tempo 14 April 2002). Dan sastra bila didefenisikan sebagai teks dalam pengertian Derrida bahwa tak ada yang hors-texte (di luar teks). Atau sebagaimana dikatakan Roland Barthes bahwa teks tidak cukup dipahami secara sintakmatik yang mengandaikan finalitas, komprehensif dan tertutup. Tetapi harus dilihat dalam logika metonimik yang lebih terbuka, tak berpusat, bukan hanya mengkonsumsi tetapi juga memproduksi maka tak bisa ditolak, sastra amat mengakar dalam hidup manusia. Ia amat dekat dengan pengalaman kerakyatan, pengalaman kehidupan. Bukankah kisah atau tokoh mitologis tiap daerah adalah kisah sastrawi turun temurun. Sebut saja, mitos Tangkuban Prahu, Nyi Roro Kidul, mitos padi yang hidup hampir di seluruh wilayah Indonesia dan seterusnya. Bila melihat sastra dalam paradigma seperti ini maka dapat dikatakan bahwa sastra sungguh menyentuh pengalaman kemanusiaan.
Tak henti-hentinya sastra mengangkat realitas pergulatan baik individu maupun masyarakat. Dari beberapa contoh di atas dapat dilihat betapa erat kaitan sastra sebagai kisah (narasi) dengan kehidupan. Bahkan novel-novel yang muncul hingga hari ini pun kuat bergema justru karena lokalitas pergulatan hidup yang ditampilkan. Pramoedya Ananta Toer dengan pengalaman revolusi kemerdekaan dan Pulau Buru. Ayu Utami bergema karena mengangkat lokalitas pengalaman Perabumulih. Demikian yang berlaku dengan Mangun Wijaya, Remy Silado, Dewi Lestari dan seterusnya. Jadi paradigma pertama tak diragukan lagi bahwa sastra 'pelayan politik'. Ia turut dalam jatuh bangun pergulatan kemanusiaan. Maka cukup beralasan kalau dikatakan bahwa sastra bak pelayan politik, sebagaimana filsafat di abad pertengahan sebagai 'ancilla fidei/theologia' (pelayan iman/teologi).
Namun format berpikir searah bahwa sastra sebagai hamba politik, hari-hari ini perlu dipertanyakan di tengah pergeseran paradigma berpikir (paradigm shift). Tuntutan bahwa sastra harus peduli dengan dunia kehidupan saja tidak cukup. Yang perlu juga diperhatikan bukan sekadar sastra yang melayani politik tetapi apakah masyarakat-politik sendiri mempunyai apreasiasi terhadap dunia sastra. Karena sebagaimana diakui oleh Taufiq Ismail, dunia sastra kita kurang lebih enam puluh tahun ditelantarkan. Sastra menjadi rima yang tak begitu memberi efek karena apreasiasi yang rendah terhadap sastra (Bdk. Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba, hlm. 207-211). Bila ditelisik lebih jauh situasi pengabaian ini juga karena kebijasanaan yang lebih berpihak pada pembangunan fisik alias kebijaksanaan teknokratik. Pembangunan yang dengan meminjam Habermas hanya berorientasi pada zweckrationalit t (rasionalitas-tujuan). Sehingga dunia sastra semenjak di bangku sekolah pun tak begitu mendapat tempat. Dunia sastra menjadi dunia asing, hanya banyolan murahan. Simak saja kata-kata Sudomo "Mahasiswa kalau ingin membanyol jangan di DPR tetapi di TIM." Kalau demikian TIM dianggap tempat membanyol yang tidak efektif (Bdk. Sapardi Djoko Damono, Politik Indonesia dan Sastra Hibrida, hlm. 101). Pengabaian pada dunia sastra sebenarnya membawa kepincangan yang cukup serius. Karena hal itu berarti pengkerdilan hakekat hidup mendasar manusia sebagai makluk reflektif.
Melihat lebih jauh
Omongan seperti ini bukan khayalan filosofis tak mendasar namun dari dunia ilmu pengetahuan paling rigid pun kesadaran ini semakin mendapat tempat. Dunia ilmu rigorous pun tidak sok pasti, sebagai dunia yang sanggup menjelaskan segala sesuatu. Simak saja pengakuan Heisenberg pemenang nobel untuk fisika. "Ah tidak, saya tidak yakin teori itu betul." Karena ia percaya, hakekat kehidupan selalu lebih indah daripada segala rumus matematika dan fisika. Dan sebuah rumus agar sanggup berbicara tentang semesta harus didasari pada keindahan ini (Bdk. Mangun Wijaya. Manusia Pascamodern, Sains dan Tuhan, hlm. 102). Demikian juga orang macam Fritjof Capra, Geoffrey Chew, Prigogine dari kubu fisika baru, hari-hari ini lebih cenderung bicara tentang probabilitas ketimbang kepastian hitam-putih. Geoffrey Chew dengan pendekatan bootstrap tidak melihat alam itu sebagai balok-balok materi yang membeku tetapi sebagai jaringan dinamis dari peristiwa yang saling berhubungan. Demikian juga Capra melihat realitas dalam kerangka kesalinghubungan yang dinamis. Dan omongan seperti ini tidak bisa tidak menyentuh dan memberi bobot baru pada medan reflektif.
Maka patut dikatakan bahwa politik sebagai dunia yang berbenturan dengan kehidupan tak mungkin dibatasi pada ranah kepastian (ilmu pasti) tetapi harus sanggup memasuki medan reflektif sastrawi. Karena politik tidak sekadar perkara undang-undang, tata tertib tetapi harus sanggup melampaui segala kategori itu. Melihat politik tidak lagi dalam tataran fragmentaris-statis tetapi lebih sebagai medan holistik-dinamis. Maka tidak heran Bismarck berbicara tentang politik sebagai "Seni pemakaian kemungkinan nyata." Politik akhirnya bukan sekadar perkara benar-salah tetapi menjadi medan dialektika terus menerus. Sebagaimana dikatakan Franz Magnis Suseno manakala berbicara tentang demokrasi sebagai perjuangan politik universal dewasa ini. Ia mengakui bahwa demokrasi itu merupakan realitas yang bersifat, relatif, kontekstual dan dinamis (Franz Magnis-Suseno, 1998, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia, Jakarta). Ini sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan termasuk kehidupan politik tidak mungkin dilihat dalam kaca mata hitam putih. Karena hidup begitu kaya, ia sekaligus kontekstual dan universal, inderawi sekaligus rohaniah, pasti tetapi sekaligus dinamis.
Manusia Makluk Reflektif
Di atas telah sedikit dijabarkan bahwa manusia makluk reflektif. Pada bagian ini akan ditelusuri lebih jauh dimensi reflektif ini. Ada sekian banyak defenisi tentang manusia. Ia adalah homo faber, homo ludens, homo symbolicum, homo religiosus, dan berbagai kategori lainya. Di balik berbagai defenisi ini tidak bisa ditolak bahwa ia adalah mahkluk reflektif. Dimensi reflektif inilah yang membedakan ia dengan makluk lainnya. Dimensi ini juga yang memperlihatkan bahwa manusia itu unik. Dalam bahasa Jean-Paul Sartre, manusia itu tidak sekadar makluk l'tro en soi (ada pada dirinya sendiri, pengada yang tidak sadar diri) tetapi sekaligus l'tro pour soi (ada bagi dirinya sendiri, pengada yang sadar diri). L'tro pour soi ini yang khas manusia dan membuatnya berbeda dari makluk lainnya yang hanya berada ditataran l' tro en soi. Bila ditelaah lebih jauh maka lÆ tro pour soi ini merupakan wilayah reflektif yang memungkinkan manusia menyatakan 'ya' pada hidup (Nietzsche). Tataran reflektif ini memungkinkan segala kesadaran terpacu untuk terus bertumbuh. Namun, medan ini jangan dilihat sebagai ranah korelatif tunggal makna tetapi sebagai jaringan relasi open ended dan dinamis. Medan reflektif dalam paradigma ini harus dilihat dalam semangat fisika baru memandang realitas sebagai interdependence dan sekaligus interrelationship.
Demikian juga sastra yang mendasari diri pada dunia reflektif harus dilihat dalam model fisika baru tersebut. Hal yang sebenarnya dikatakan juga oleh Roland Barthes tentang sastra yang writing degree zero. Sastra yang sanggup mengosongkan diri (absence) dan membiarkan kekosongan itu menyergap manusia. Ia tidak dirayakan dalam gegap gempita agar manusia tidak jatuh dalam kebisingan yang membutakan dan hasutan yang riuh tanpa makna. Pada medan ini sastra memang bukan wilayah untuk mencari 'kepastian' tetapi sastra membuat manusia berani menggumuli hidup, kritis terhadap realitas kehidupan. Atau dengan memakai paradigma Fran ois Lyotard dalam melihat filsafat bahwa filsafat itu bukan berurusan dengan 'perkara' (Litige) tetapi 'sengketa' (diff rend), ia mengatakan bahwa bila perkara harus diputuskan oleh hakim, maka sengketa tidak pernah bisa selesai. Demikian juga tawaran penulis dalam melihat dunia sastra dan medan reflektif yang ada didalamnya bukan pada tataran 'perkara' tetapi pada tataran 'sengketa.' Sebagaimana juga dikatakan Budi Darma bahwa sastra bukanlah tulisan yang hanya dengan tindakan-tindakan jasmani yang mentakjubkan tetapi adalah karya yang berkelebat dengan sekian banyak pikiran. Maka amat naif manakala orang memperlakukan sastra sebagai 'perkara'.
Potret Negri Ini
Dengan demikian sastra bukan lagi ôdibacaö sebagai hiburan tetapi harus dilihat sebagai ajang memperluas kemungkinan-kemungkinan itu. Ia tidak sekadar 'pelayan' tetapi sebagai partner yang memperluas tindakan reflektif manusia. Dengan demikian sastra membuat politik yang cendrung mengikuti kategori hitam-putih (positivistik) agar lebih dinamis dan terbuka. Politik itu harus dijiwai dimensi reflektif sastrawi agar kekuasaannya yang sering mengedepankan kedamaian, situasi yang kondisif dalam satu kategori terbuka matanya. Sastra juga membuat politik yang terkadang super curiga, takut sehingga membuka peluang lahirnya otoritarianisme, diktaktor hingga totalitarianisme bisa keluar dari lingkaran setan ini. Sastra harus menjiwai kehidupan karena didalamnya tak ada kebenaran tunggal makna yang diimani. Sebagaimana hidup itu selalu lebih luas dari segala kepastian positivistik. Maka membaca sastra merupakan panggilan kemanusiaan, panggilan politik, karena di sana dimensi reflektif manusia diberi ruang untuk tumbuh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa manusia tidak hanya bergulat di medan fakta tetapi juga pada tataran reflektif alias medan makna.
Namun di negri ini pembodohan dan pengabaian aspek reflektif sulit dibongkar. Ini didasari pada pandangan bahwa dunia reflektif adalah 'milik' golongan atas. Orang bisa terkagum-kagum dengan sebuah pidato tanpa mengerti isinya. Demikian juga yang dikatakan Herbert Luethy manakala bicara tentang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa 'sintesis' yang meminjam "secara terang-terangan dan tanpa pandang bulu semua terminologi teknis dan abstraksi ideologis dari dunia modern dan nyaris tidak dimengerti, dalam hal bagian-bagiannya yang terbaru, bagi orang Indonesia pada umumnya, yang menyimak pidato-pidato resmi dengan ketakjuban lantaran tak mampu memahami" (Lih. Benedict R.O.G. Anderson, Bahasa Politik Indonesia, dalam Yudi latif/Idi Subandy Ibrahim (editor), Bahasa dan Kekuasaan, hlm. 124). Ini merupakan fenoma budaya yang sering dimanfaatkan para elit. Reflektivitas yang rendah atau juga pandangan bahwa reflektivitas itu hanya ômilikö golongan atas membuat kekuasaan itu semakin leluasa melakukan pembenaran tanpa kritik bahkan berubah menjadi rezim ideologis totaliter.
Di samping itu kalangan politisi pun masih cendrung melihat politik sebagai program jangka pendek. Politik dipahami sebagai kesempatan untuk menguasai. Politik bukan dihayati sebagai tempat pengabdian tetapi sebagai kesempatan. Maka tak heran Kwik Kian Gie mengatakan kalau negri ini banyak politikus tetapi sangat sedikit politikus yang negarawan. Politikus yang rela meninggalkan segala pamrih apapun termasuk keluarga, partai, agama dan sebagainya demi pengabadian total kepada manusia seluruhnya dan seutuhnya (Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, hlm. 4-5). Atau negri ini memang sungguh negri seolah-olah. Seolah-olah demokratis, seolah-olah beragama, seolah-olah beradab. Negri ini telah mengidap sekian penyakit kronis bahkan adalah penyakit itu sendiri. Negri ini sungguh terpuruk bahkan dunia pendidikan guna mempersiapakan manusia-manusia beradab pun telah tercemar dengan berbagai praktek mafioso. Maka tidak heran Ignas Kleden tidak percaya kalau cendekiawan Indonesia termasuk manusia-manusia 'elitis' di bidangnya.
Di sini penulis tidak berpretensi menjelaskan segala persoalan tetapi mau menunjukkan betapa politik yang hanya bermain di wilayah bannal akan selalu melahirkan pembodohan, penindasan. Sekian banyak persoalan yang terus menghantui karena pengabaian pada dunia reflektif sastrawi ini. Padahal dimensi inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya manusia ôutuhö. Maka pada tempatnya sastra tidak lagi 'dibaca' sekadar pelayan politik. Tetapi harus dibaca sebagai bagian penting kehidupan, bagian penting politik. Karena disanalah dimensi reflektif yang adalah hakekat hidup manusia meriap. Sehingga politik tidak terjerambab dalam ideologisasi yang mengorbankan manusia. Sebagaimana dikatakan Suyatna Anirun, sastra merupakan upaya memanusiakan ide-ide di tengah kecendrungan yang kuat untuk mengidekan manusia-manusia. *
Politik Membaca Sastra
Jumat, 21 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar