HUBUNGAN sastra dengan masyarakatnya memang rumit dan potensial menyembulkan perbedaan pendapat. Sastra bisa dinilai lantaran ada perangkat-perangkat aturan, konvensi, atau kode; dan antara perangkat yang satu dengan perangkat yang lain tak sama.
Selain itu, sastra juga punya sejumlah kemungkinan hubungan dengan struktur sosial masyarakat yang memunculkannya, ekspresi pandangan dunia atau ideologinya (Lucien Goldmann, 1977), dan juga konvensi estetikanya maupun mediasi kondisi produksinya (baik kondisi teknologis, kelembagaan, dan kondisi sosial dalam produksi seni) untuk bisa memahami dan menjelaskan fenomena sastra (Janet Wolff, 1982).
Ada anggapan bahwa sastra sebagaimana lembaga sosial yang sah dan punya konvensi yang menuntut kepatuhan terhadap sejumlah urusan demi tegaknya kesahan dan konvensinya. Pelanggaran terhadap konvensi sebuah lembaga sastra merupakan ancaman sebagaimana pelanggaran terhadap konvensi dalam sebuah lembaga masyarakat.
Ada hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dan masyarakatnya, misalnya puisi kita pada dekade awal 1900-an yang cenderung meninggalkan pola puisi lama atau tradisional demi menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru. Kecenderungan ini terucapkan dalam puisi Rustam Effendi, "Sarat-saraf saya mungkiri, untai rangkaian seloka lama, beta buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma".
Sastra juga dipandang sebagai sebuah model yang terbatas dari semesta yang tak terbatas. Sastra merupakan model dunia imajiner yang membonceng bahasa, baik dunia sosial, personal, individual, maupun hubungan antarindividu dan kemungkinan-kemungkinan hubungan yang lain. Contohnya, kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin pada 1968.
Cerpen ini dianggap melukai kepercayaan Muslim karena penggambaran unsur-unsur yang berkaitan dengan agama Islam di dalam cerpen itu. Akibatnya, HB Jassin, pemimpin majalah yang memuat cerpen itu, diadili dan dihukum, meski HB Jassin menyatakan gambaran dalam cerpen itu merupakan model dunia imajinasi. Tapi masyarakat seakan menganggap penggambaran dalam cerpen itu adalah dunia kenyataan itu sendiri.
Sastra pun mengembangkan rancangan khusus berupa bangunan penafsiran yang menuntut diperlakukan sebagaimana rancangan khususnya itu. Dengan kata lain, hubungan karya sastra dengan struktur sosial tidak muncul sebagaimana adanya dalam karya sastra, misalnya, novel Siti Nurbaya yang memuat masalah politik melalui tokoh Syamsul Bahri yang berperang untuk mencari kematiannya agar berjumpa dengan kekasihnya. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka karena motif Syamsul Bahri itu romantik dan bukan karena urusan yang politis.
Selain itu, sastra kerap dirundung pembatasan atau konvensi "bisu" dalam urusan mengungkap peristiwa-peristiwa atau gagasan-gagasan tertentu. Apa yang membuat sebuah teks dianggap sebagai karya sastra karena kecocokannya dengan ukuran tertentu yang bersifat ideologis, misalnya tak melanggar "stabilitas" politik kekuasaan dan "kesopanan" umum. Kasus pamflet Rendra dan puisi Widji Thukul merupakan contoh hubungan sastra dengan standardisasi sastra versi kekuasaan.
Selain hubungan-hubungan itu, untuk memahami kondisi sastra juga perlu memerhatikan urusan yang berkaitan dengan produksi seni, yaitu teknologi dan lembaga sosial.
Teknologi cetak dan teknologi komunikasi memengaruhi kesusastraan, misalnya maraknya penerbitan buku, internet (situs dan blogt) dan koran di Tanah Air setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang berefek pada produksi dan penyebaran karya sastra. Banyak pengarang yang tak lagi berhubungan dengan penerbit resmi karena teknologi cetak yang murah (komputer/fotokopi) dan teknologi komunikasi (internet). Hambatan penyaluran karya sastra makin menyingkir dengan adanya situs di internet, kantong sastra, dan toko buku di luar jaringan toko buku besar.
Selain teknologi, lembaga sosial di dalam kesenian pun punya peran penentu dalam urusan produksi sastra. Dewan kesenian, gedung kesenian, taman budaya, media sastra, kritikus, maupun komunitas sastra merupakan wujud lembaga sastra yang punya otoritas penilaian atau legitimasi. Dulu TIM dan majalah sastra Horison dianggap sebagai pusat legitimasi kesenian di negeri ini. Setiap seniman yang diundang tampil di TIM atau karyanya dimuat Horison dianggap sebagai seniman papan atas.
Lembaga sosial dalam kesenian punya selera estetik tertentu dan perannya bisa menjadi politis dalam penarikan anggotanya (rekruitmen). Zaman dulu, penguasa di Barat menyediakan pusat latihan seni (gilda) bagi seniman yang direkrut untuk memuja dirinya.
Di zaman modern, rekruitmen seniman terselenggara lebih longgar melalui sistem sekolah maupun pelatihan yang didanai oleh sponsor, misalnya Ubud Writers dan Readers Festival dan Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (Mastera). Secara sosiologis, dalam rekruitmen seniman ada faktor kekuatan sosial yang mendorong seseorang untuk bersekutu dengan kelompok tertentu untuk mengembangkan kerja atau karier kesenimanan.
Selain rekruitmen, lembaga sosial dalam kesenian juga menjalankan patronase, yaitu suatu hubungan di mana sang patron (pelindung) memberikan sesuatu ke pihak lain, misalnya sokongan material atau perlindungan ke seniman yang memungkinkan karya sang seniman diproduksi dan didistribusikan dalam lingkungan yang serba tak pasti dan bahkan penuh perseteruan, sedangkan sang seniman memberikan kesetiaannya kepada sang patron sebagai imbalannya, misalnya dengan penyesuaian selera ideologi atau estetikanya. Memang tak ada campur tangan langsung sang patron terhadap karya seni sang seniman, tapi ada seleksi tertentu dalam pemberian dana dapat mengindikasikan ideologi sang patron.
Menurut Edwar B Henning (1970), pengaruh patronase terjadi dalam tiga cara. Pertama, menarik seniman untuk bergabung melalui performa intelektual atau moral yang simpatik serta dukungan material. Kedua, stipulasi (persyaratan suatu kesepakatan yang harus dilaksanakan sang seniman). Ketiga, seleksi terhadap karya seni dilakukan oleh patron yang biasanya berasal dari kelompok ekonomi yang kuat dan dapat memengaruhi gaya seni sang seniman.
Patronase kesusastraan berperan penting dalam sejarah sastra Barat, misalnya patronase raja dan gereja abad XIV dan XV, patronase bangsawan pada abad XVI, dan patronase politik pada abad XVII. Mulai abad XVIII sistem patronase lenyap dan sastrawan menghadapi situasi baru yang menawarkan kebebasan lebih besar, tapi membuat sastrawan menerima tekanan hubungan pasar dan kerawanan ekonomik.
Pada abad XX hingga kini muncul patronase baru yang menggantikan hubungan patronase tradisional, misalnya pengarang menulis untuk koran, fotografer dipekerjakan oleh majalah, dan juga pengarang yang memperoleh dana dari lembaga pemerintah atau swasta dalam negeri maupun asing.
* Binhad Nurrohmat, Penyair
Sumber: Republika, Minggu, 02 September 2007
Sastra di Tengah Patronase Sosial
Jumat, 11 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar