SESAAT setelah memenangkan pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengatakan, "Kemenangan ini sendiri bukanlah perubahan yang kita kejar. Akan tetapi hanya sebuah peluang bagi kita untuk membuat perubahan tersebut."
Obama benar. Pemilihan umum, entah itu pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) atau untuk memilih kepala daerah, sebetulnya cuma anak tangga meniti jalan demokrasi. Partai-partai politik yang mengusung para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, karena itu juga, cuma pintu masuk.
Pikiran ini kita kemukakan di ruang ini terutama untuk coba membalikkan kesadaran kolektif kita yang telah tertanam sekian lama seolah-olah pemilu itu adalah puncak dan tujuan. Kemenangan dalam sebuah pemiliu lalu dianggap sebagai tujuan yang dikejar. Padahal, kemenangan dalam pemilihan umum, seperti kata Obama di atas, hanya sebuah peluang untuk membuat suatu perubahan.
Hari-hari ini, perhatian kita tercurah pada seremoni pelantikan anggota Dewan, para wakil rakyat yang menyandang predikat terhormat itu. Ada yang sudah dilantik. Yang lain belum. Menurut agenda, di NTT pelantikan anggota Dewan terakhir akan terjadi pada tanggal 3 September, yakni pelantikan anggota DPRD NTT dan anggota DPRD Flores Timur.
Kita tahu masih ada ganjalan-ganjalan dalam tahapan itu. Ada anggota Dewan yang sehari setelah dilantik langsung didemo karena diduga terlibat kasus amoral. Ada anggota Dewan terpilih yang mesti berurusan dengan polisi, baik karena ijazah palsu maupun karena terlibat dalam kasus kejahatan. Itu urusan hukum. Ada juga anggota Dewan yang tidak ikut dilantik karena masalah internal partai.
Sebagai konstituen, rakyat pemilih menaruh harapan sangat besar dan penuh pada anggota legislatif kali ini. Harapan itu begitu besar karena dengan partai peserta pemilu yang begitu banyak dengan calon legislatif yang juga sangat banyak, rakyat punya banyak pilihan. Pilihan mereka tidak lagi dibatasi oleh terlalu sedikitnya partai peserta pemilu dan calon legislatif.
Apa harapan rakyat pemilih? Pertama, anggota Dewan mesti tetap sadar akan tugas dan fungsinya sebagai penyalur lidah rakyat, penyalur suara rakyat di lembaga legislatif. Tugasnya terutama adalah berteriak, 'tukang teriak'. Meneriakkan aspirasi, harapan rakyat untuk didengar para pengambil kebijakan.
Kita tidak bermaksud menilai bahwa para wakil rakyat kita sebelumnya tidak berteriak. Yang kita maksudkan di sini adalah bahwa kesadaran akan jatidiri sebagai 'tukang teriak' itu mesti tetap dijaga dan dijaga secara konsisten. Kalau peran ini diperankan dan dijaga secara konsisiten, maka para wakil rakyat akan tahu di mana dan seperti apa posisinya dalam tatanan penyelenggaraan pemerintah.
Dalam praktek selama ini, kerap kali kita menangkap kesan, para wakil rakyat itu seolah-olah tukang stempel pemerintah. Apa yang dikatakan pemerintah, disain program pemerintah bulat-bulat disetujui tanpa banyak 'bertanya' kepada rakyat entahkah program pemerintah telah sesuai dengan kebutuhan rakyat. Karena itu, kita harapkan tidak terjadi perselingkuhan antara eksekutif (pemerintah) dengan para wakil rakyat (legislatif). Apalagi perselingkuhan itu untuk menggadaikan rakyat.
Kedua, karena tugasnya sebagai 'tukang teriak', maka para wakil rakyat itu mesti tahu benar apa yang terjadi di lapangan, apa yang menjadi harapan rakyat. Isi hati rakyat mesti diselami dengan baik. Hanya dengan mengetahui kondisi yang dihadapi rakyat, para wakil rakyat bisa berteriak dengan nada yang benar, sehingga tidak menghasilkan bunyi fals.
Banyak kali kita mendengar nada teriakan wakil rakyat itu fals oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Fals karena suara-suara yang diteriakkan itu banyak terkontaminasi oleh terlalu banyak kepentingan. Para wakil rakyat itu mestinya tampil sebagai paduan suara unisono (satu suara).
Karena itu kita harapkan para anggota Dewan kali ini mesti tetap tampil sebagai anggota paduan suara yang bernyanyi dalam nada dasar yang sama. Jangan ada yang tampil dengan nada dasar yang lain.
Ketiga, para wakil rakyat juga jangan suka memerankan drama dengan lakon komedi di atas panggung Dewan. Kalau toh harus dipentaskan, maka lakon yang mesti ditampilkan adalah lakon heroik.
Masih banyak harapan rakyat yang bisa kita kemukakan. Tetapi kali ini, cukup tiga poin ini yang ingin kemukakan. Tiba saatnya para wakil rakyat membuktikan komitmennya, mengejawantahkan janji kampanyenya. Rakyat menunggu bukti! *
Pos Kupang, Senin 31 Agustus 2009
Obama benar. Pemilihan umum, entah itu pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) atau untuk memilih kepala daerah, sebetulnya cuma anak tangga meniti jalan demokrasi. Partai-partai politik yang mengusung para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, karena itu juga, cuma pintu masuk.
Pikiran ini kita kemukakan di ruang ini terutama untuk coba membalikkan kesadaran kolektif kita yang telah tertanam sekian lama seolah-olah pemilu itu adalah puncak dan tujuan. Kemenangan dalam sebuah pemiliu lalu dianggap sebagai tujuan yang dikejar. Padahal, kemenangan dalam pemilihan umum, seperti kata Obama di atas, hanya sebuah peluang untuk membuat suatu perubahan.
Hari-hari ini, perhatian kita tercurah pada seremoni pelantikan anggota Dewan, para wakil rakyat yang menyandang predikat terhormat itu. Ada yang sudah dilantik. Yang lain belum. Menurut agenda, di NTT pelantikan anggota Dewan terakhir akan terjadi pada tanggal 3 September, yakni pelantikan anggota DPRD NTT dan anggota DPRD Flores Timur.
Kita tahu masih ada ganjalan-ganjalan dalam tahapan itu. Ada anggota Dewan yang sehari setelah dilantik langsung didemo karena diduga terlibat kasus amoral. Ada anggota Dewan terpilih yang mesti berurusan dengan polisi, baik karena ijazah palsu maupun karena terlibat dalam kasus kejahatan. Itu urusan hukum. Ada juga anggota Dewan yang tidak ikut dilantik karena masalah internal partai.
Sebagai konstituen, rakyat pemilih menaruh harapan sangat besar dan penuh pada anggota legislatif kali ini. Harapan itu begitu besar karena dengan partai peserta pemilu yang begitu banyak dengan calon legislatif yang juga sangat banyak, rakyat punya banyak pilihan. Pilihan mereka tidak lagi dibatasi oleh terlalu sedikitnya partai peserta pemilu dan calon legislatif.
Apa harapan rakyat pemilih? Pertama, anggota Dewan mesti tetap sadar akan tugas dan fungsinya sebagai penyalur lidah rakyat, penyalur suara rakyat di lembaga legislatif. Tugasnya terutama adalah berteriak, 'tukang teriak'. Meneriakkan aspirasi, harapan rakyat untuk didengar para pengambil kebijakan.
Kita tidak bermaksud menilai bahwa para wakil rakyat kita sebelumnya tidak berteriak. Yang kita maksudkan di sini adalah bahwa kesadaran akan jatidiri sebagai 'tukang teriak' itu mesti tetap dijaga dan dijaga secara konsisten. Kalau peran ini diperankan dan dijaga secara konsisiten, maka para wakil rakyat akan tahu di mana dan seperti apa posisinya dalam tatanan penyelenggaraan pemerintah.
Dalam praktek selama ini, kerap kali kita menangkap kesan, para wakil rakyat itu seolah-olah tukang stempel pemerintah. Apa yang dikatakan pemerintah, disain program pemerintah bulat-bulat disetujui tanpa banyak 'bertanya' kepada rakyat entahkah program pemerintah telah sesuai dengan kebutuhan rakyat. Karena itu, kita harapkan tidak terjadi perselingkuhan antara eksekutif (pemerintah) dengan para wakil rakyat (legislatif). Apalagi perselingkuhan itu untuk menggadaikan rakyat.
Kedua, karena tugasnya sebagai 'tukang teriak', maka para wakil rakyat itu mesti tahu benar apa yang terjadi di lapangan, apa yang menjadi harapan rakyat. Isi hati rakyat mesti diselami dengan baik. Hanya dengan mengetahui kondisi yang dihadapi rakyat, para wakil rakyat bisa berteriak dengan nada yang benar, sehingga tidak menghasilkan bunyi fals.
Banyak kali kita mendengar nada teriakan wakil rakyat itu fals oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Fals karena suara-suara yang diteriakkan itu banyak terkontaminasi oleh terlalu banyak kepentingan. Para wakil rakyat itu mestinya tampil sebagai paduan suara unisono (satu suara).
Karena itu kita harapkan para anggota Dewan kali ini mesti tetap tampil sebagai anggota paduan suara yang bernyanyi dalam nada dasar yang sama. Jangan ada yang tampil dengan nada dasar yang lain.
Ketiga, para wakil rakyat juga jangan suka memerankan drama dengan lakon komedi di atas panggung Dewan. Kalau toh harus dipentaskan, maka lakon yang mesti ditampilkan adalah lakon heroik.
Masih banyak harapan rakyat yang bisa kita kemukakan. Tetapi kali ini, cukup tiga poin ini yang ingin kemukakan. Tiba saatnya para wakil rakyat membuktikan komitmennya, mengejawantahkan janji kampanyenya. Rakyat menunggu bukti! *
Pos Kupang, Senin 31 Agustus 2009
0 komentar:
Posting Komentar