HARI Kamis, 1 Oktober 2009, 13 wakil rakyat NTT dilantik menjadi anggota DPR RI lima tahun ke depan. Ditambah dengan empat anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), maka ada 17 utusan rakyat NTT duduk di Senayan.
Sebagai wakil rakyat, tugas mereka terutama adalah bersuara. Bersuara melanjutkan aspirasi, harapan rakyat NTT lima tahun ke depan. Dalam arti tegas, para utusan rakyat NTT di pusat ini mesti bersuara nyaring.
Mengapa mesti nyaring? Bukan bermaksud mengecilkan para utusan lama di Senayan, tetapi rakyat NTT sudah tahu dan mengikuti dengan baik, seperti apa kiprah para wakil rakyatnya di pusat. Mereka tahu betul para periode lima tahun lalu, seperti apakah peran, kiprah dan citra diri para wakilnya di Senayan. Mereka paham benar, apakah aspirasi dan harapan warga NTT telah disuarakan di pusat.
Sudah dua kali rakyat memilih wakil rakyatnya secara langsung. Pilih nama calon. Secara politis, cara ini diyakini lebih menjamin partisipasi seluas-luasnya dari rakyat dalam menjalankan hak politik mereka.
Melalui partai politik, warga negara memilih para wakil rakyatnya menjalankan fungsi perutusannya di lembaga legislatif. Ada hubungan linear di antara rakyat sebagai warga negara, partai politik, dan para wakil rakyat.
Tugas pertama dan terpenting partai politik adalah mengidentifikasi kepentingan dan aspirasi rakyat dan menerjemahkannya menjadi program politik. Program-program politik ini selanjutnya diusulkan kepada DPR dan para wakil rakyat di sana akan berunding serta berdebat tentang bagaimana menerjemahkannya menjadi keputusan politik.
Seperti apakah program politik diterjemahkan para wakil rakyat untuk konteks kepentingan dan kebutuhan masyarakat NTT? Terasa jauh sekali membayangkan kiprah para wakil rakyat kita di Senayan sebelum-sebelumnya. Kepentingan NTT tenggelam, karena kalah nyaring dengan daerah lain. Kalah nyaring, mungkin karena salah orang yang dipilih dan kemudian dikirim ke pusat.
Meski begitu, di tengah memudarnya citra dan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat, kita boleh menaruh ekspektasi di pundak 17 utusan NTT itu. Ekspektasi itu ada, terutama karena energi para utusan kita kali ini masih prima.
Mereka masih cukup kuat, sehat. Datang dari latar belakang pendidikan dan pengalaman yang kaya. Ada Lery Mboeik yang vokal berteriak tentang ketidakadilan. Kita harap teriakan itu terus bergema di Senayan.
Ada Eman Babu Eha, mantan birokrat, wakil bupati, penjabat bupati, yang tentu saja punya pengalaman dan wawasan luas tentang pemerintahan dan rakyat. Ada Fary Francis, pegiat LSM yang dekat dengan masalah-masalah akar rumput. Ada Beny Harman, yang reputasinya di pusat tidak perlu diragukan lagi.
Ada juga Paul Liyanto, yang lama berkiprah dalam urusan tenaga kerja NTT. Yang lain, kita yakin dengan porsi dan perhatiannya masing-masing, ikut membunyikan kepentingan NTT di Senayan. Banyak kepentingan NTT sepertinya tenggelam karena tidak diteriakkan.
Banyak yang bisa dan mesti diteriakkan di Senayan. Urusan tapal batas antara Indonesia dengan Timor Leste. Urusan pabrik semen yang tak kunjung selesai. Urusan krisis energi (listrik). Urusan isolasi wilayah.
Itu di darat. Di laut juga banyak. Pencurian ikan di perairan NTT dilakukan secara besar-besaran. Propinsi kepulauan yang telah lama diperjuangkan Pemerintah Propinsi NTT belum juga teralisasi.
Utusan itu kerjanya menyampaikan, melanjutkan amanat dari mereka yang mengutusnya. Tugasnya menyampaikan, melanjutkan amanat itu. Janggal dan ironis kalau utusan itu lebih banyak diam, duduk saja.
Empat juta rakyat NTT mengirim 17 orang utusannya ke pusat untuk bersuara, berteriak, menyalurkan aspirasi, harapan yang ada. Rakyat NTT tidak mengirim 17 utusannya untuk mengikuti ajang 'idol'.
Dengan energi baru yang lebih kuat, dengan kemampuan intelektual yang lebih memadai, dengan pengalaman yang jauh lebih kaya, rakyat NTT menitipkan satu saja pesan kepada 17 wakilnya di Senayan: Gemakan NTT di Senayan. Itu saja. *
Pos Kupang, Sabtu 3 Oktober 2009
Gemakan NTT di Senayan
Selasa, 06 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar