Bergurulah ke Mohammad Yunus (2)

Selasa, 29 April 2008

Oleh : Tony Kleden
LEPAS
dari gilang-gemilang prestasinya, gereja juga sebetulnya gagal membentuk manusia berdaya saing tinggi, kompetitif dan mampu beradaptasi dengan situasi zaman. Tidak menyiapkan manusia dengan etos wirausaha adalah salah satu contoh penting dari kegagalan gereja.
Kegagalan sumber daya manusia dengan etos seperti itu dewasa ini sangat terasa dan terlihat nyata. Di tengah arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan banyak hal, di tengah apa yang oleh Leo Kleden disebut sebagai partikularisasi kebudayaan, kita butuh manusia yang punya sikap sendiri, punya daya juang tinggi, punya elan vital dan tahan banting. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk, mudah terserang penyakit ini dan itu pada galibnya adalah eksplisitasi dari rendahnya ketahanan diri orang-orang kita.
Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebetulnya gereja gagal menyiapkan manusia NTT. Karena itu, jika ingin maju dan sejajar dengan daerah lain, etos wirausaha perlu terus dipompakan dalam diri orang NTT. Dari pengalaman dan pengamatan, jelas terlihat kita kalah bersaing dengan semangat, dengan etos saudara-saudara kita dari Jawa, Batak, Bugis, Bali. Solidaritas di antara mereka sangat kuat. Dilandasi solidaritas itulah, mereka kemudian membentuk jejaring yang sangat kuat. "Orang Bali sangat kuat jaringannya, sehingga susah ditembusi orang dari luar. Hanya sedikit orang China saja yang bisa tembus. Kita lemah dari sisi ini," kata Dr. Leo Kleden.
Selain etos wirausaha lemah, perhatian terhadap koperasi juga perlu ada. Sudah sejak dulu, Credit Union (CU) tumbuh di daerah ini. Belakangan koperasi tumbuh mekar di NTT. CU atau koperasi sangat membantu masyarakat meningkatkan ekonomi mereka, lepas dari belitan rentenir dan jeratan bunga bank yang begitu menjulang.
Tersentil dan respons dengan tumbuhnya koperasi di daerah ini, Leo Kleden menganjurkan agar pemerintah perlu mengirim para manejer koperasi ke Bangladesh untuk belajar dari Mohamnad Yunus. Prof. Mohammad Yunus adalah ekonom peraih Nobel Perdamaian 2006 yang melalui Grameen Bank mengangkat harkat dan harga diri begitu banyak orang miskin di Bangladesh.
Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, juga sepakat tentang penting dan strategisnya koperasi. "Di mana-mana saya kampanyekan pentingnya koperasi," kata Lebu Raya. Lebu Raya tentu tahu, koperasi akan sangat membantu orang-orang kecil yang tidak mudah mengakses ke bank untuk meminjam modal usaha.
Harus diakui, dewasa ini koperasi telah tumbuh begitu subur. Di Maumere, Kantor Koperasi Obor Mas lebih megah dari kantor pemerintah. Di Kota Kupang, kuncup-kuncup koperasi dan kelompok usaha bersama (KUB) mengharum-aroma ke mana-mana. Omzetnya? Berbilang miliar rupiah. Masuk anggota koperasi juga gampang. Pinjam uang lebih gampang lagi. Makin banyak simpan, makin banyak pinjam, makin banyak juga dapat sisa hasil usaha (SHU).
Spirit ini sudah menjadi tanda baik bahwa kesadaran untuk berusaha, menyimpan uang di koperasi telah hidup. Tinggal bagaimana pemerintah terus mendorongnya sehingga lebih maju lagi. Di Thailand, bank-bank sudah ngos-ngosan karena perannya telah diambilalih oleh koperasi.
Banyak usaha kecil-kecil yang kelihatannya sepele, tetapi sebetulnya menyimpan potensi yang luar biasa besarnya. Contoh rumput laut. "Saya pernah bertanya pada seorang yang punya usaha rumput laut, berapa uang yang dia peroleh. Sekali panen dia bisa mendapat uang Rp 15 juta. Kalau dalam setahun dia panen empat kali, sudah berapa uang yang dia peroleh?" tutur Leo Kleden.
Rumput laut telah menjadi 'emas hijau' bagi banyak penduduk di pesisir pantai. Dari Sabu hingga Alor. Dari Adonara hingga Labuan Bajo. Potensinya luar biasa. Prospeknya cerah. Yang kurang dan karena itu perlu dilakukan adalah mengarahkan pandangan orang ke laut. "Orang kita, meski tinggal di pinggir pantai membelakangi laut," kata Lebu Raya. Jika rumput laut sudah melimpah, pekerjaan rumah yang juga harus segera dikerjakan pemerintah adalah mendatangkan alat pengolahannya dan membuka pasar.
Tekad menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan jauh lebih tepat dan membantu mendongkrak pendapatan rakyat. Propinsi kepulauan sejak beberapa tahun lalu digulirkan Lebu Raya. Lebu Raya 'ngotot' ke pemerintah pusat menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan. "Kita rugi besar kalau tidak masuk jadi propinsi kepulauan. Sebab jika NTT bukan propinsi kepulauan, maka skema anggaran dari pusat itu dihitung menurut luas daratan, sementara lebih banyak wilayah kita adalah lautan," kata Lebu Raya.
Ide menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan begitu menguat dalam diskusi. Pertimbangannya sederhana, dengan otonomi daerah maka kabupaten lebih otonom mengurus daerahnya sendiri. "Saya setuju dengan propinsi kepulauan. Membangun Flores jadi propinsi sendiri secara sosial budaya tidak efektif, kita akan ribut terus. Propinsi NTT sudah bagus, sudah tenang, kekerabatan kita juga sudah terjalin lama. Lebih dari itu, uang akan mengalir ke kabupaten, bukan propinsi. Kenapa harus Propinsi Flores? Kita jangan terkecoh, karena Propinsi Flores hanya kehendak satu dua orang yang ingin jadi gubernur dan ketua DPRD," kata seorang peserta diskusi.
Banyak lagi kekayaan alam di sekitar kita yang bisa dirupiahkan. Flores kaya pisang dan kelapa. Sungguh konyol kalau pisang dari Flores dibawa ke Surabaya dengan harga murah dan balik lagi dalam kemasan dengan harga telah berlipat-lipat. Sungguh tragis jika asam berkelas dari tanah Timor Tengah Selatan (TTS) dikirim ke Surabaya dan balik lagi dalam bentuk manisan dengan harga melangit. Di Larantuka, ikan cakalang cuma dihargai Rp 4.200,00/kg. Tetapi saya cuma bisa berdecak ketika mesti membayar 10 US dolar untuk tiga potong kecil ikan cakalang yang telah diolah jadi sasimi di salah satu restoran Jepang di Washington, AS tiga tahun lalu. Tidak sukar menaksir berapa harga ikan cakalang jika satu ekor bisa dapat 30 porsi sasimi.
Di Manggarai dan Ngada vanili dan cengkeh tak susah amat dirawat. Di Ende pisang beranga dan ubi nuabosi masih sebatas cerita khas kekayaan Ende. Kapan pisang beranga menembus mal-mal Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya? Kapan petani pisang beranga dan ubi nuabosi menyekolahkan anaknya hingga meraih gelar dokter?
Di daratan Timor dan Sumba, ternak sapi pernah menguasai daging di kota-kota besar di Jawa. Tetapi coba dicek, berapa banyak orang Timor dan Sumba yang jadi pemilik ternak? Banyak orang desa di daratan Timor dan Sumba tak lebih dari penggembala. Mereka merenda hidup di atas hamparan padang rumput, merenung nasib di atas punggung sapi dan kuda menggembalakan ternak milik pemodal.
Sungguh mati. Kita punya potensi. Tetapi kita tidak punya etos wirausaha. Dan, pemerintah belum terbuka mata melihat itu. Belum punya niat untuk mengubahnya. Yang dimiliki pemerintah masih sebatas wacana, seminar, program kerja di map-map di kantor. Sampai kapan NTT terus diplesetkan dengan akronim miris: Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tidak Tentu? Tahun depan NTT merayakan HUT emasnya. Lima puluh tahun sudah usianya. Janganlah usia emas itu dirayakan dengan bermuram durja. (bersambung)
Pos Kupang Kamis 24 April 2008
----------------------------------------------------


Bukan Cari NTT Idol, Bung... (3)
Oleh : Tony Kleden


MENGGELAR sebuah diskusi panel di kampus STFK Ledalero punya nilai tambah. Nilai tambah itu terletak pada kuatnya arus pemikiran didukung pengamatan, penelitian dan pengalaman dari para staf pengajar yang punya view jauh ke depan dan para mahasiwa yang terkenal kritis.
Dan, di negeri ini Ledalero telah tampil menjadi 'arus dari timur'. Arus itu belakangan menjadi begitu kuat menghantar manusia-manusia handal, kritis dan tajam pemikirannya ke pusat-pusat kekuasaan, melebarkan jaringannya ke begitu banyak bidang dan aspek kehidupan.
Menurut data, sekolah calon imam ini 'hanya' menghantar 40 persen mahasiswa menjadi imam yang kini bekerja di seluruh dunia. Sisanya menjadi 'garam' di medan kerja yang lain. Ada cendekiawan kaliber seperti Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Jan Riberu, Sirilus Belen. Di NTT ada nama-nama popular seperti Kristo Blasin, Anton Bele, FX Sega, Apoli Bala, Goris Foju, Anton Darus, Marius Ardi Jelamu dan masih banyak lagi yang berkecimpung di begitu banyak bidang.
Ketika diskusi panel dengan menghadirkan tiga doktor jebolan luar negeri -- selain Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya -- yang telah malang melintang dalam begitu banyak urusan dan ihwal di dalam dan luar negeri, nuansa akademis, pikiran kritis-ilmiah-demokratis dan segudang pengalaman sangat terasa. Dr. Konrad Kebung, SVD adalah doktor filsafat dari Amerika Serikat. Dr. Leo Kleden, SVD adalah doktor filsafat dari Universitas Leuven, Belgia. Dr. Paul Budi Kleden, SVD doktor teologi dengan perhatian lebih pada teologi politik dari Jerman.
Ketiganya anak tanah Flobamora, yang makan jagung dan ubi di daerah ini. Yang membedakan mereka adalah pengalaman. Dr. Leo Kleden sekitar tujuh tahun menjadi anggota Dewan Jenderal SVD dan berkedudukan di Roma. Pengalamannya sarat, pengamatannya tajam, analisisnya menukik. Itu hanya mungkin karena dia telah mengunjungi lima benua dan menjejakkan kakinya di lebih dari 30 negara di dunia.
Dr. Paul Budi Kleden menghabiskan waktu sekitar 13 tahun di Eropa. Sudah tentu, budaya, iklim demokrasi, kehidupan bermasyarakat dan bernegara di benua tua itu dipahami, diamati dan dipelajari. Dr. Konrad Kebung, SVD akrab dengan orang-orang desa di NTT. Dia mengerti baik kultur dan filsafat hidup Amerika. Dia juga paham betul kultur orang NTT. Itu karena sejak tahun 1988 dia telah mengajar di STFK Ledalero. Lebih dari itu, semua dosen adalah lulusan luar negeri, baik yang berstrata S3 (doktor) maupun S2 (master).
Maka ketika ditambah dengan Drs. Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT, yang tentu juga kaya pengalaman di bidang pemerintahan, sebuah diskusi tentang NTT menarik tersaji. Mengusung tema "Memotret Pembangunan di NTT, Kemarin, Hari Ini dan Esok", ratusan peserta, termasuk para mahasiswa yang mesti dibatasi, sangat antusias. Dengan konsentrasi penuh para peserta menyimak pemaparan semua materi.
Mengapa perlu memotret pembangunan? Memotret dalam konteks ini mengandung tiga makna, yaitu menyamakan persepsi tentang keberhasilan dan kegagalan, menyamakan persepsi tentang pengembangan propinsi kepulauan, dan membagi pengalaman mengenai program pembangunan di NTT selama ini. Geliat pembangunan daerah ini selama 49 tahun usianya perlu dipotret.
Bagaimana hasil potretnya? Buram, cerah, gelap, rusak, berhasil, itulah hasil dari potret itu. Menurut Lebu Raya, tidak mudah meletakkan format pembangunan yang betul-betul kena dan tepat untuk NTT sehingga potretnya jadi baik. Sudah tujuh gubernur mengawaki biduk NTT yang tahun depan merayakan usia emasnya. Dari tujuh gubernur itu, lima di antaranya adalah 'darah daging' NTT. El Tari terkenal dengan semboyan progresifnya: tanam, tanam, tanam, sekali lagi tanam. Ben Mboi muncul dengan operasi nusa makmur, operasi nusa hijau. Hendrik Fernandez populer dengan Gempar dan Gerbades. Herman Musakabe tampil dengan Tujuh Program Strategis Membangun NTT. Terakhir Piet A Tallo dengan Tiga Batu Tungku yang kemudian pada periode kedua dimodifikasi lagi menjadi Tiga Pilar Pembangunan.
Hasil apa gerangan yang dituai dari aneka program ini? Tentu tidak adil untuk menilai kalau kondisi terpuruk NTT hari ini karena tidak ada program para gubernur itu yang cocok. Masing-masing gubernur dengan programnya adalah anak kandung zamannya. Masing-masing mereka tampil pada zamannya dan menjawab kebutuhan dan kondisi NTT pada masanya.
Tetapi ketika dipaparkan bahwa pada tahun 2005, dari sekitar 4 juta jiwa, 1.546.200 jiwa masuk dalam kategori miskin (sekitar 35 persen), kita seolah tak percaya. Tak percaya karena merasa bahwa sekian lama ini, sekian banyak program pembangunan, sekian banyak dana seakan tak ada maslahatnya untuk NTT. Kita ingin menggugat, memberontak dan mempertanyakan apa gunanya ada pemerintah, apa pentingnya merumuskan program-program muluk kalau hampir semua indikator Human Development Index (HDI/Indeks Pembangunan Manusia) NTT jauh terpuruk di urutan ke-33 dari 35 propinsi di Indonesia?
Sudah pasti ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa HDI kita begitu jatuh terpuruk. Tetapi faktor yang paling dominan adalah kepemimpinan. Dalam diskusi panel itu kriteria pemimpin menjadi tema yang kuat dibicarakan. Semua sepemahaman bahwa sosok pemimpin, gaya kepemimpinan, integritas moral, kematangan emosional, kebijakan dan kearifan mengambil keputusan, keberpihakan kepada rakyat, bakti kepada kejujuran, satunya kata dan perbuatan, rajin turun ke rakyat, kesehatan mental, ketahanan fisik, adalah domain-domain penting dan niscaya dari seorang pemimpin NTT ke depan.
Dr. Konrad Kebung, SVD menawarkan beberapa syarat pemimpin NTT ke depan. Pertama, memiliki semangat pengabdian yang tinggi dan sungguh berpihak pada rakyat. Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang memiliki visi utama yaitu kesejahteraan dan kebaikan masyarakat.
Kedua, cemerlang dalam berpikir, namun juga praktis-pragmatis dalam pelaksanaan. Pemimpin tidak cuma pintar omong, tetapi juga tahu berbuat. Kita tidak butuh pemimpin yang hanya bisa berteori dan mampu menghipnotis rakyat melalui kata-kata tentang keterpurukan masyarakat. Yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengubah apa yang dikatakannya itu.
Ketiga, memiliki semangat demokratis yang tinggi. Semangat ini terungkap dalam seluruh hidupnya. Secara praktis, NTT butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, tidak mengambil jarak dengan rakyat, yang lebih memperhatikan dan mementingkan manusia, dan bukan orientasinya pada kesibukan kerja. "Sebagai abdi, dia tidak mempraktekkan top down leadership, melainkan servant leadership," kata Dr. Konrad Kebung, SVD, Ketua STFK Ledalero.
Tinggal 39 hari lagi, 2,7 juta warga NTT menggunakan hak pilihnya memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT lima tahun ke depan. Figur-figur yang ingin maju sudah mulai 'menjual' diri. Namanya juga menjual, tentu tidak ada yang nomor dua. Semuanya nomor satu. Itu biasa dan merupakan dinamika politik. Harapan rakyat jelas. NTT butuh pemimpin yang bisa memberdayakan rakyat, bukan memperdayai rakyat dengan program-program mercusuar yang tak lebih dari tipuan-tipuan halus. NTT butuh figur yang merakyat, figur yang jujur, bersih, tidak NATO (no action, talk only/cuma banyak omong, tanpa realisasi).
Lebih dari itu, kita tidak sedang mencari NTT Idol yang menghipnotis warga NTT dengan kepiawaian mengobral kata. Kita juga tidak sedang mencari tukang sulap yang mampu mengelabui rakyat melalui aksi tipu-tipuan. Kita juga tidak sedang berada di pusat grosir dan gampang termakan 'iklan dari surga' yang menjebak.
Yang kita cari adalah pemimpin yang punya hati, punya tekad, punya kemauan untuk bekerja, bekerja dan bekerja membangun NTT. Karena itu, salah pilih semua kita ramai-ramai terjun bebas ke kubangan keterpurukan, keterbelakangan, kemiskinan, dan rendah diri. (habis)
Pos Kupang Jumat 25 April 2008

0 komentar:

Posting Komentar