Fernando Lugo, Pengguncang Gereja

Selasa, 29 April 2008

Oleh : Tony Kleden

JANGANKAN
kemenangannya menjadi Presiden Paraguay, pengunduran dirinya dari uskup saja menjadikan Fernando Lugo Armindo Méndez menjadi topik utama berita media massa sedunia dalam pekan ini. Judul-judul menarik dari berita-berita Lugo dikemas media. "Uskup Kiri Jadi Presiden", "Uskup Orang Miskin itu Kini Jadi Presiden" adalah dua judul berita yang menunjukkan hebohnya Lugo menjadi isu dunia.
Tetapi sesungguhnya yang lebih heboh justru apa yang ada di balik berita itu. Lugo telah menyentuh hal yang selama ini tabu dalam gereja Katolik. Seperti diketahui, sejauh ini hirarki gereja Katolik secara prinsip tidak melibatkan diri dalam politik praktis, apalagi terlibat aktif dalam persaingan merebut kekuasaan.
Karena itu, apa yang dilakukan Lugo dengan menanggalkan jubah, meletakkan jabatannya dari uskup, meninggalkan istana uskup, tinggal di rumah kontrakan, dan terutama terjun langsung ke politik adalah sebuah keberanian melawan arus, sebuah langkah yang tidak lazim dalam gereja Katolik.
Dua tahun lalu, tepatnya pada tanggal 25 Desember 2006, Lugo mengundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup. Uskup dari tarekat SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah) ini kemudian mencalonkan dirinya menjadi Presiden Paraguay. Pencalonan dirinya ini menjadi sesuatu sangat yang kontroversial karena ia sendiri tidak diizinkan oleh Tahta Suci Vatikan.
Tahta suci Vatikan memegang teguh pada Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). Merujuk pada hukum kanon, gereja tidak memperkenankan seorang imam untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis. "Seorang rohaniwan Katolik dilarang terlibat dalam kegiatan politik, entah dalam bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal ini bertujuan agar para klerikus (yang tertahbis) dapat mengonsentrasikan perhatiannya hanya pada pelayanan dalam gereja" (Kanon 287).
Apakah Lugo lupa perintah hukum kanon ini? Apakah dia tidak tahu bahwa Tahta Suci melarang keras para biarawan terjun ke arena politik?
Lugo bukan imam atau uskup kemarin sore. Lahir pada 30 Mei 1951, Lugo ditahbiskan menjadi imam 15 Agustus 1977. Setelah ditahbiskan, dia berkerja lima tahun sebagai misionaris di Ekuador. Di sana dia mulai mengenal dengan lebih baik spirit dasar dari Teologi Pembebasan. Dari Ekuador dia kemudian ke Roma belajar teologi. Saat belajar teologi itulah, Lugo memaknai teologi lebih dari sekadar doktrin-doktrin kaku. Dia menarik teologi ke konteks lokal, kepada kehidupan keseharian orang-orang kecil dan miskin di Paraguay.
Tahun 1987 dia kembali ke Paraguay dan mulai aktif terlibat membela orang-orang kecil. Lugo tergerak membela orang kecil karena lebih dari 61 tahun negara di jantung Amerika Latin yang diapiti Argentina, Bolivia dan Brasilia itu terkungkung dalam kemiskinan yang mendera dan korupsi yang menggurita.
Di tengah tugasnya di antara orang-orang kecil dan miskin, Lugo kemudian terpilih dan ditahbiskan menjadi uskup pada 17 April 1994. Sebagai uskup, dia bertugas di San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Sebelum menjadi uskup, Lugo pernah menjabat sebagai provinsial SVD (pemimpin SVD di suatu wilayah kerja) di Paraguay.
Lantas, roh apakah yang mendorongnya menanggalkan jubah, meletakkan jabatan uskup dan keluar dari tembok biara? Melihat sepak terjangnya, menyaksikan aksinya bersama orang-orang kecil dan menderita, tak pelak lagi panggilannya membantu orang-orang kecil dan terpinggirkan adalah spirit, roh yang memanggil Lugo.
Panggilan membela orang kecil dan terpinggirkan itulah yang menjadi alasan paling penting dan mendasar mengapa dia meninggalkan biara. Sekali waktu dia menegaskan akan turun dari mimbar gereja dan terjun ke tengah rakyat kecil mengangkat harkat dan harga diri mereka. Bekal ilmu di Roma dipadukan secara hamonis dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan. Sebagai imam dan uskup yang tertahbis, Lugo gelisah saat menyaksikan kehidupan sosial di mana terdapat perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat lemah. Sebagai imam dan uskup, ia melihat bahwa membela orang kecil dan tertindas tidak cukup lagi hanya dengan seruan moral dan kotbah dari mimbar gereja.
Dapat dimengerti ketika mengumumkan pengunduran dirinya dan pada saat mengumumkan dirinya menjadi calon Presiden Paraguay, Lugo lantang mengatakan, "Katedral saya bukan lagi sebuah gereja keuskupan, seluruh negara adalah katedral saya."
Lugo tentu sangat sadar akan bunyi hukum kanon di atas. Tetapi dia juga sadar bahwa gereja Katolik tidak dapat mengambil sikap apatis terhadap gejolak dan dinamika politik yang terjadi di dunia nyata. Dan, dalam konteks Paraguay, Lugo memilih langkah berani dengan membuka jubah, meletakkan jabatan uskup dan terjun ke pusaran politik. Dia pasti sadar bahwa seruan moral atau kotbahnya di mimbar gereja yang sejatinya tidak bermaksud politis, bisa ditafsir secara politis dan bisa membawa dampak politis yang sangat luas.
Kemenangan Lugo melalui Aliansi Patriotik untuk Perubahan (Patriotic Alliance for Change), suatu front luas berupa gabungan dari kekuatan kekuatan patriotik, yang bersama-sama memperjuangkan terjadinya perubahan di Paraguay. Kemenangan Lugo ini menunjukkan juga bahwa politik "memihak rakyat miskin" yang jadi pedoman aliansinya, mendapat simpati dan dukungan besar dari rakyat.
Lebih jauh, kemenangan Logo juga seakan membongkar kecenderungan pemahaman terhadap gereja yang selama ini dianut kebanyakan orang. Yakni gereja sebagai sebuah institusi dengan aktor utama para klerus (rohaniwan) semata, gereja sebagai superbody, yang di hadapannya manusia mesti berserah diri. Pemahaman yang keliru seperti inilah yang seringkali menyebabkan manusia memposisikan gereja sebagai sebuah institusi yang ideal, di dalamnya ada kesempurnaan.
Melalui sikapnya yang berani, melalui langkah yang kontroversial, Lugo membuka mata banyak orang di dunia ini bahwa gereja ada dalam sejarah. Karena berada dalam sejarah manusia, maka gereja mesti peka dan sensitif terhadap setiap gejolak dalam masyarakat, sanggup merespons kondisi masyarakat, mesti bisa menjawab kebutuhan umatnya. Singkat kata, gereja dalam sejarah adalah ecclesia semper reformanda, yakni gereja yang terus menerus membaharui dirinya.
Keputusan Lugo meletakkan jabatannya dan mau terjun ke dunia politik praktis telah mengguncang hirarki. Tetapi keputusan yang rasional itu sedang membawa dia ke tempat yang lapang. Dunia politik baginya adalah tempat lapang di mana ia secara jernih melihat rakyat yang terpuruk secara ekonomis dan politis dengan bantuan kehendak Allah.
Enam juta warga Paraguay kini meletakkan harapan dan masa depan mereka di atas pundak Lugo. Mereka yakin dan percaya, 'uskup orang kecil' itu tetap tampil membela mereka. Lugo ingin membangun Paraguay seperti apa yang diinginkan warganya. "We will build a Paraguay that will not be known for its corruption and poverty, but for its honesty," katanya berulang kali.
Jika gereja mesti terus berubah dalam konteks zamannya, jika terjun ke arena politik adalah jalan yang lebih lapang membantu rakyat, mengangkat harkat mereka, apakah NTT butuh Lugo-Lugo yang lain? Saya tidak tahu, apakah benar mengajukan pertanyaan seperti ini. *
Minggu 27 April 2008

1 komentar:

  1. andreas iswinarto mengatakan...

    apakah sudah baca kesaksian martin bishu pastor dari flores yang belasan tahun berkerja untuk kaum miskin di paraguay dan menjadi sobat presiden 'pastor orang miskin" fernando lugo.


    Salam kenal dan silah mampir

    hikayat bulan adalah hikayat bocah-bocah bahagia
    tak hirau berlarian mengejar bayang
    di pangkuan bunda bumi
    tempat padi menguning dan panen berlimpah
    bukan milik sendiri
    tempat sawah mati musim bencana
    sepi sendiri


    hikayat bulan adalah hikayat mimpi
    bulan bundar negeri bahagia
    ada nyanyi sunyi pada jutaan kaum papa
    di tanah yang mati
    di air yang mati
    negeri surga yang mencekik

    11 September 2008 pukul 21.21  

Posting Komentar