Kita Tertinggal Oleh Siapa? (1)

Selasa, 29 April 2008

Oleh Tony Kleden
-----------------------------------------
Pengantar:
ALUMNI Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero yang tersebar di sejumlah pelosok negeri mudik ke almamaternya di bukit 'sandar matahari' Ledalero, Maumere. Tidak banyak yang kembali. Cuma beberapa. Tetapi ide, gagasan, pikiran semua mereka kembali ke kampus, kembali ke Ledalero menggelar sebuah diskusi panel, Sabtu 12 April 2008 lalu. Diskusi panel itu mengambil tajuk "Memotret Pembangunan di NTT, Kemarin, Hari Ini dan Esok." Tiga panelis tampil : Drs. Frans Lebu Raya, Dr. Leo Kleden, SVD, Dr. Konrad Kebung, SVD, dengan moderator Dr. Paul Budi Kleden, SVD. Beberapa pikiran sederhana, menarik dan mungkin penting dari diskusi itu dapat Anda simak.
----------------------------------------------------------------------
SEBUAH anekdot. Sekali waktu seorang warga Inggris ingin bertamu ke Raja Inggris. Dengan sepotong kain yang sekadar menutup badannya, dia bergegas ke istana. Pengawal raja menegurnya. "Kalau ingin bertemu raja, harus pakai pakaian yang lengkap," kata pengawal. Cuek bebek, rakyat kecil itu berujar, "Ah, pakaian yang sekarang dipakai raja itu cukup untuk tiga orang pakai. Kurangi dan berikan kepada saya supaya saya bisa menutup bagian badan lain yang belum tertutup."
Anekdot ini diceritakan oleh Dr. Leo Kleden, SVD dalam diskusi panel di kampus STFK Ledalero, Maumere, Sabtu (12/4/2008). Leo Kleden dengan penuh kesadaran menceritakan anekdot ini menanggapi salah satu indikator kemiskinan yang dipakai pemerintah. Sebelumnya Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menyebut sejumlah indikator untuk mengkategorikan sebuah keluarga/orang itu miskin atau tidak. Salah satunya adalah mampu membeli pakaian baru dalam setahun. Ketika menjelaskan sejumlah dari 14 indikator yang dipakai Badan Pusat Statistik, Lebu Raya sendiri juga merasa geli, lucu karena tidak pas. "Saya juga masuk orang miskin karena tidak ke salon untuk cuci muka," kata Lebu Raya. Cuci muka di salon juga disebut sebagai salah satu indikator.
Ketika mendengar sejumlah indikator kemiskinan ini, seluruh peserta diskusi larut dalam gelak tawa. Semua punya kesan yang sama, merasa lucu dengan indikator yang terkesan mengada-ada.
Menurut Leo Kleden, anggapan bahwa orang NTT bodoh, miskin, terkebelakang tidak tepat. Karena, jauh sebelum Indonesia merengkuh kemerdekaannya, gereja di Nusa Tenggara telah berbuat banyak sekali. Ada begitu banyak prestasi gilang gemilang yang dikerjakan gereja. Di bidang pendidikan, misi Katolik dan zending mendirikan sekolah-sekolah, kursus-kursus pertukangan dan sebagainya. Sekolah itu sarana penting, tetapi yang lebih penting dari itu adalah good will pemerintah kolonial mensejajarkan orang Indonesia dengan bangsa penjajah dalam hal memperoleh pendidikan.
Di Flores, misalnya, pada tahun 1925 Pater Cornelissen mendirikan seminari kecil di Lela, Sikka, yang kemudian pindah ke Mataloko, Ngada. Semangat di balik seminari ini adalah kemauan, sikap, keberpihakan misi kepada warga kecil, penduduk pribumi untuk boleh mengenyam pendidikan filsafat, teologi, moral yang diperuntukkan bagi para calon imam di Eropa. Pendirian seminari ini harus disebut sebagai langkah sangat berani pada masa itu.
"Pada malam sebelum imam pertama ditahbiskan (tahun 1941), Pater Cornelissen berteriak di kamarnya seperti orang gila. Dia teriak karena kerja kerasnya bertahun-tahun telah berhasil. Ternyata orang Flores juga bisa belajar teologi, filsafat, moral dengan kualitas seperti yang didapat di Eropa. Berarti orang kita juga bisa," kenang Leo Kleden.
Di bidang penerbitan, gereja juga mencatat prestasi yang sangat spektakuler. Percetakan Arnoldus di Ende didirikan tahun 1925 guna mencetak bahan-bahan bacaan. Di bidang pers, gereja Katolik juga menerbitkan majalah Bentara dan Anak Bentara di Ende. Dua majalah ini menguasai Nusa Tengagara dan Indonesia era tahun 1950-an. Ketika itu oplahnya mencapai 45 ribu, suatu prestasi yang belum terkalahkan pers di daerah ini sampai saat ini.
Di bidang perhubungan, gereja juga meretasnya dengan mendatangkan sejumlah banyak kapal/motor laut seperti Sta. Theresia, Arnoldus, Siti Nirmala, Ratu Rosari, Ama. Semuanya melayari wilayah NTT, menghubungkan pulau-pulau, menembus ke tanah Jawa.
Di bidang pertanian, gereja juga mendatangkan dua orang insinyur pertanian. Salah satunya yang sangat terkenal adalah Pater BJ Baack, SVD. "Tidak masuk akal untuk Flores yang kecil ini datang dua orang ahli pertanian dari sekolah pertanian yang sangat bergengsi di Belanda," kata Leo Kleden.
Sejumlah prestasi ini sengaja dikenang, dituturkan terutama dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa orang NTT sebetulnya tidak begitu terdera, dan karena terkebelakang sebagaimana anggapan umum, karena dijajah oleh Belanda. Sebaliknya, jika dikritisi, penjajah justru membuka akses dalam banyak hal untuk warga di daerah ini.
Karena itu jika sekarang NTT disebut-sebut sebagai daerah miskin, tertinggal, terkebelakang, maka predikat perlu diganggu-gugat lagi. Justru sebutan itu menunjukkan kegagalan semua elemen di daerah ini, terutama pemerintah, melanjutkan estafet 'tangan-tangan' gereja itu.
Sudah sejak zaman penjajah, putra-putra NTT menimbah ilmu jadi guru hingga ke Tomohon, Sulawesi Utara. Sudah sejak dua abad lalu, sekolah pertama di Rote didirikan. Lalu sekarang, ketika mutu pendidikan kita begitu jeblok, banyak anak-anak yang meninggal karena gizi buruk, apa yang salah, siapa yang harus diminta penjelasan?
Sekarang NTT disebut tertinggal? Tertinggal oleh siapa dan dalam hal apa? Nenek moyang orang NTT tidak dijajah Belanda 350 tahun. Kalau indikator kemiskinan diambil dari Jakarta, Jakarta menjadikan New York sebagai patokan, maka sampai kiamat pun NTT tetap miskin.
Lantas siapa yang sebenarnya menjajah kita? Mungkin terlalu cepat bangsa ini mengusir penjajah Belanda. (bersambung)
Pos Kupang Rabu 23 April 2008

0 komentar:

Posting Komentar