Oleh Tony Kleden
CUACA di salah satu ruangan Rumah Retret Susteran PRR Weri, Kamis (18/9/2008) lalu, sangat gerah. Meski di ketinggian, di tengah rimbunan jambu mete, jambu air dan kelapa, semua peserta tak kuasa menahan gerah. Panas luar biasa. Keringat bercucuran. Kipas angin tidak cukup. Dengan apa yang bisa dipakai, para peserta sibuk mengipas-ngipas badan.
Tetapi cuaca yang gerah itu tak ada bandingannya dengan hati yang gerah melihat data-data hasil survai yang dilakukan oleh PKBI NTT dan WVI Larantuka terkait dengan perilaku berisiko terhadap HIV-AIDS.
Beberapa dekade lalu, wajah Larantuka masih asli. Sekarang? Sudah banyak berubah. Sepuluh tahun lalu, Kota Larantuka relatif masih bersih dari urusan syawat liar. Kota Reinha masih menampakkan ciri dan citranya sebagai sebuah kota dengan tradisi Katolik yang kental.
Tak dinyana, dalam rentang waktu sepuluh tahun, seks telah tumbuh menjadi industri, meski tetap liar juga karena tidak diatur dalam sebuah perangkat aturan semacam peraturan daerah (Perda). Teringat kisah, beberapa tahun lalu petugas pemerintah di Kota Larantuka terbiasa main petak umpet dengan para pekerja seks. Kejar sana kejar sini. Tangkap sana tangkap sini. Usir sana usir sini.
Ketika seks menjadi salah satu segmen industri, dia tampil apik dan elegan. Jika sebelumnya urusan syawat bersifat jalanan, maka sekarang dia sudah mendapat kemasan menarik. Sudah punya merk dagang. Dia tidak lagi 'dipajang' di pinggir-pinggir jalan, tetapi sudah masuk ke kamar-kamar losmen. Transaksinya tidak lagi di tempat gelap, tetapi sudah di meja-meja pub dan karaoke. Konsumennya juga multisegmen. Dari anak-anak hingga orangtua. Dari pegawai kantoran hingga para nelayan.
Survai terhadap para remaja mengungkapkan bahwa 33,5 persen remaja yang sedang pacaran pernah melakukan hubungan seks. Yang mengejutkan, ada juga remaja yang berhubungan seks tidak cuma dengan teman atau pacarnya, tetapi juga pekerja seks. Perilaku seperti ini tentu saja berisiko. Tetapi yang jadi soal bukan cuma risiko itu sendiri, tetapi juga dan terutama rendahnya kapasitas pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi. Artinya, kebanyakan mereka sama sekali belum tahu apa dampaknya ketika berhubungan seks dengan seorang pekerja seks.
Posisi remaja perempuan justru lebih berisiko lagi. Remaja perempuan menghadapi dua ancaman sekaligus ketika memutuskan untuk melakukan hubungan seks saat dimabuk kasmaran dengan pacar. Risiko reproduksi seperti kehamilan sudah pasti bisa diperhitungkan. Namun hal yang sangat tidak terduga adalah risiko infeksi IMS dan bahkan HIV ketika pasangan seksual remaja puteri sesungguhnya berperilaku seks berisiko karena mempunyai pasangan seks lainnya yang adalah pekerja seks.
Survai itu juga memperlihatkan bahwa remaja di daerah pedesaan saat ini berada dalam sebuah situasi perilaku berisiko terhadap IMS dan HIV-AIDS. Kondisi ini akan semakin memburuk ketika tidak ada upaya intervensi program yang bisa meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran sehingga berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Pada tataran ini konsep pengembangan program remaja menjadi penting, dibutuhkan dan perlu didesain dengan mempertimbangkan karakteristik remaja.
Hal menarik dan mengejutkan lainnya dari survai itu adalah toleran dan permisifnya para pekerja tempat hiburan malam (PTHM) terhadap para tamu laki-laki. Menurut survai itu, bukan hal yang luar biasa kalau para para PTHM itu melayani para tamu untuk kebutuhan 'luar-dalam'. Kebutuhan luar menyangkut dunia. Yang dalam menyangkut surga. Di mana para PTHM malam itu melayani tamu? "Kami bisa melayani mereka di halaman-halaman dengan mematikan lampu," tutur John D Mangu menirukan jawaban para PTHM. Surga dan dunia menyatu di Kota Reinha.
Nah, apa yang harus dilakukan? Dalam workshop semua peserta terperangah dan prihatin. "Tetapi kita tidak bisa berhenti di sini. Ke depan, pemerintah mesti melakukan sesuatu yang berguna. SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait dengan HIV-AIDS silahkan mengajukan dana untuk sosialisasi," kata Wabup Flotim, Yosni Herin, ketika membuka workshop itu.
Kata kuncinya, cuma satu. Hadapi bersama. Maka yang dibutuhkan adalah intervensi secara terpadu stakeholder yang terlibat dalam urusan kemanusiaan ini. John Mangu dan Adi Lamury juga menegaskan pentingnya intervensi itu. "Dari wawancara kami, para responden meminta perlu sebuah intervensi pemberdayaan, pengetahuan dan keterampilan berperilaku secara aman, sehat dan bertanggung jawab. Isu HIV-AIDS sesungguhnya ada di permukaan masalah yang muncul karena tidak adanya basik pengetahuan pada remaja mengenai kesehatan reproduksi, kesehatan seksual, pendidikan budi pekerti, keterampilan menghargai tubuh sendiri dan orang lain, mental kepribadian dan berbagai aspek sosial budaya lainnya yang tidak secara sistematis diinternalisir kedalam proses tumbuh kembang remaja," kata John Mangu.
Itu saja kuncinya. Jika Pemkab Flotim di bawah duet Drs. Simon Hayon-Yosni Herin, S.Sos, mematok pembangunan sumber daya manusia sebagai fokus utama, niscaya HIV-AIDS tidak lagi sekadar isu, tetapi mesti dilihat sebagai masalah. Setuju? (habis)
Pos Kupang Jumat 24 Oktober 2008
AIDS di Flores Timur, Surga dan Dunia Bertemu
Senin, 27 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar