UNDANG-UNDANG Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan cakrawala yang luar kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota, dalam melaksanakan otonomi secara utuh dan bulat.
Otonomi yang seluas-luasnya terlihat dari jumlah urusan yang diserahkan, di mana daerah diberikan seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal.
Dengan perubahan ini, bandul manejemen pemerintahan dan pembangunan bergeser dari model memusat (sentrifugal) menuju pada model memencar (sentripetal). Pergeseran ini mengakibatkan banyak hal yang sebelumnya sentralis sekarang menjadi desentralis. Sentralisasi menjadi desentralisasi.
Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.
Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.
Desentralisasi pembangunan mengharuskan dan mengandaikan pemerintah dan masyarakat daerah untuk merumuskan bersama konsep-konsep pembangunan. Masyarakat harus dilibatkan dalam merancang- bangun item-item pembangunan. Mereka tidak boleh diposisikan sebagai penonton saja. Mereka harus aktif.
Meski begitu, harus kita akui juga bahwa sejauh ini konsep desentralisasi pembangunan, bahkan juga otonomi daerah, mengalami begitu banyak distorsi. Pembangunan sebagai rekayasa sosial untuk mempercepat perubahan sosial, dari keadaan serba kurang menjadi lebih baik, seringkali menggunakan patokan-patokan yang tidak berbasis pada kondisi masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan.
Cermin kemajuan lebih sering diletakkan pada hal-hal di luar budaya masyarakat. Alhasil, yang muncul ialah bahwa tujuan pembangunan menjauhkan masyarakat dari dirinya sendiri. Banyak ironi terjadi. Masyarakat menjadi asing di tengah pembangunan yang dirancang atas namanya, didesain untuk kebutuhannya.
Dalam konteks ini, kita menyambut baik apa yang terjadi di Kabupaten Ngada. Seperti diwartakan harian ini akhir pekan lalu, Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea mengatakan bahwa dalam sistem pembangunan saat ini masyarakat menjadi penentu kebijakan, pelaksanaan dan perencanaan pembangunan.
Bupati Piet Nuwa mengatakan itu ketika membuka Musyawarah Kabupaten (Muskab) Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP) dalam rangka penangggulangan kemiskinan di Kabupaten Ngada, di Bajawa, Kamis (23/10/2008)
Sudah lama pembangunan dengan pola partisipatif digagas. Maksudnya apa? Maksudnya ialah masyarakat merancang sendiri item-item pembangunan sesuai kebutuhannya, sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, budaya serta lingkungannya.
Dengan pola partisipatif, masyarakat terlibat langsung. Dia turut merumuskan rencana pembangunan, ikut memikirkan format pembangunan. Ada asumsi yang terbangun dari model partisipatif, yakni bahwa dengan menjadi perancang sendiri, masyarakat akan lebih bertanggung jawab, lebih terlibat, punya sense of belonging terhadap hal ihwal tentang pembangunan.
Sebetulnya, model partisipatif ini bukan baru. Dia sudah lama diperkenalkan. Dan, rakyat juga sudah ikut memikirkan, turut terlibat dalam urusan pembangunan. Keterlibatan itu melalui musyawarah rencana pembangunan desa (musrengbangdes), musyawarah rencana pembangunan kelurahan (musrengbangkel) dan musyawarah rencana pembangunan kecamatan (musrengbangcam). Di kota-kota, bahkan keterlibatan warga sudah mulai dari tingkat RT dan RW.
Sejatinya semua bentuk partisipasi warga ini merupakan sesuatu yang sangat baik. Artinya, dengan merencanakan sendiri rakyat ikut menentukan prioritas-prioritas pembagunan yang mereka rasakan. Dengan cara seperti ini juga, masyarakat bisa merasa memiliki.
Tetapi, kita juga perlu waspada. Sebab, dalam praktek selama ini, apa yang disebut sebagai bentuk-bentuk keterlibatan rakyat itu cuma semu, cuma pro forma belaka. Musrengbangdes, musrengbangkel, musrengbangcam sudah sering digelar menjaring aspirasi dari bawah. Mencari prioritas-prioritas kebutuhan rakyat. Rakyat ikut merancang kebutuhan mereka dalam konteks pembangunan.
Tetapi, bukan hal baru kalau apa yang sudah dirancang bersama itu berulang, berulang dan terus berulang, tanpa pernah ada feed back, tanpa ada penjelasan mengapa ini belum, mengapa ini tidak. Kita harapkan, apa yang disebut sebagai pembangunan dengan pola partisipatif ini tidak sekadar omong-omong. *
Pos Kupang, Selasa 28 Oktober 2008
Pembangunan Partisipatif, Jangan Cuma Pro Forma
Senin, 27 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar