Di Sekolah Banyak Babi, Anjing, Monyet

Senin, 29 Desember 2008

Oleh Tony Kleden

TERSERAH
mau percaya atau tidak. Nyatanya, toh ada sekolah yang tak punya daftar mata pelajaran baku, tak punya jadwal jam belajar resmi, tak punya kelas-kelas yang dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, tak menyelenggarakan ulangan atau ujian kolektif seperti yang lazim selama ini. Dan juga -- ini yang penting -- muridnya pun bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan bagaimana yang mereka anggap paling tepat dan sesuai untuk diri mereka.
Itulah Universitas Rockefeller di Kota New York. Apakah sekolah ini harus diragukan reputasi dan kualitas lulusannya? Jangan berburuk sangka. Universitas ini bukan sembangan, apalagi 'sekolah papan nama' seperti banyak di daerah ini. Punya reputasi karena statusnya jelas, bukan seperti banyak sekolah di daerah ini yang statusnya cuma terdengar.

Universitas ini adalah sekolah tempat berkumpulnya para pendekar dan jago-jago penemu kelas dunia. Dua lulusannya meraih Hadiah Nobel. Beberapa di antaranya yang punya nama beken misalnya Theodosius Dobzhansky, pengilham kelahiran ilmu rekayasa genetika modern. Juga Rene Dubos, si penyiasat pertama pemakaian antibiotika.
Sekolah-sekolah dengan gaya dan model seperti ini memang terkesan aneh di mata dan telinga publik. Tetapi kehadirannya, hasil lulusannya, sistem dan metode pengajarannya membongkar habis-habisan konsep, pemahaman, atau pandangan kita tentang apa yang sudah dari dulu disebut sebagai sekolah itu.
Sebegitu lama sekolah diterima sebagai tempat guru menjejali para murid dengan tetek bengek ilmu pengetahuan yang belum tentu menarik murid, belum tentu berguna secara praktis untuk hidup. Di sekolah, guru adalah kuasi dewa dan murid adalah 'hamba-hamba' sahaya yang hanya bisa setia mendengar dan mendengar tanpa banyak protes. Di sekolah, guru adalah sosok omnipotens yang mahatahu, dan sebaliknya murid adalah obyek yang tidak banyak tahu.
Akibat paling nyata yang masih begitu kasat mata hingga sejauh ini adalah anak-anak melihat sekolah sebagai 'neraka jahanam' yang menyiksa. Guru adalah sosok yang paling ditakuti. Di desa-desa, kondisi terberi seperti ini masih ada. Kondisi dan kesan tentang sekolah seperti ini juga masih terdapat di banyak sekolah di Kabupaten Sikka. Adalah Aksi Cinta Kehidupan yang ingin menghapus kesan itu. Bekerja sama denganYayasan TIFA Jakarta, Yayasan Aksi Cinta Kehidupan melakukan monitoring di sejumlah sekolah di Kabupaten Sikka.
Hasilnya? "Banyak sekolah belum menjadi sekolah ramah anak," kata Direktur Aksi Cinta Kehidupan, Lambert Dore Purek, kepada Pos Kupang, di Maumere, Senin (15/12/2008) lalu.
Lambert menjelaskan, monitoring itu dilakukan selama bulan Oktober-Desember 2008. Menurut Lambert, sebenarnya program sekolah ramah anak di Kabupaten Sikka telah dijalankan sejak tahun 2004. Program ini muncul atas inisiatif Koalisi Pencegahan Perlakuan Salah Terhadap Anak di Kabupaten Sikka dan Ende yang kemudian mendapat dukungan dari UNICEF, sebuah lembaga PBB yang berkomitmen membantu upaya Pemerintah Indonesia dalam menyukseskan program sekolah ramah anak.
Program ini dilatarbelakangi oleh adanya prototipe terhadap budaya NTT yang identik dengan kekerasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Salah satu cara yang diyakini masyarakat Sikka adalah mendisiplinkan anak melalui cara-cara kekerasan demi kebaikan si anak sendiri.
Kenyataan yang terjadi di sekolah-sekolah dasar di wilayah NTT umumnya dan di Kabupaten Sikka pada khususnya, jelas Lambert, menunjukkan bahwa masih sangat sering siswa diperlakukan secara kasar, entah secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Perlakuan kasar secara fisik, misalnya dipukul, ditendang, dijewer, ditampar, berlutut, diminta untuk membersihkan WC atau mengisi air di bak mandi, mencabut rumput di halaman sekolah. Sedangkan perlakuan kasar melalui kata-kata misalnya dimaki, dimarahi, disebut dengan nama binatang seperti babi, anjing, monyet.
Jika seorang anak terlambat masuk sekolah, ganjaran yang setimpal adalah sebuah tamparan. Atau saat anak tidak berseragam, anak dijewer. Beraneka tindakan kasar selalu saja dipakai oleh guru sebagai metode yang dinilai tepat untuk mendidik siswa di sekolah.
Kelihatannya tindakan pendisiplinan ini membuahkan hasil yang langsung dirasakan oleh anak. Misalnya anak menjadi penurut, tidak nakal lagi, tahu menghormati guru dan sebagainya. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, baik di bidang pengetahuan, khususnya psikologi perkembangan anak, maupun pembaharuan di bidang hukum terutama berkaitan dengan hak anak, maka model pendidikan dengan cara kekerasan perlu ditinjau kembali.
Di sisi lain, program ini juga dilatarbelakangi adanya Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan UU Perlindungan Anak. Dua perangkat aturan ini memandatkan segenap unsur masyarakat, termasuk guru, untuk memenuhi hak anak dan memastikan bahwa anak-anak dihindarkan dari tindakan-tindakan kekerasan. Kalau banyak guru masih memanggil murid dengan babi, anjing, monyet, maka sekolah masih dianggap sebagai neraka oleh murid.
Di tengah menguatnya kesadaran akan harga diri, harkat dan martabat manusia, yang ramah memang bukan hanya lingkungan, tetapi juga sekolah. Sekolah ramah peserta didik. Sekolah ramah anak. Mengapa tidak? (tony kleden/bersambung)


Pos Kupang, senin 29 desember 2008


0 komentar:

Posting Komentar