Di Ujung Rotan Ada Emas?

Senin, 29 Desember 2008

Oleh Tony Kleden

PEPATAH
tua 'di ujung rotan ada emas' sebenarnya sudah tidak cocok lagi dengan semangat zaman. Dulu sekali ketika kesadaran akan pentingnya sekolah belum kuat bertumbuh, anak-anak sekolah mesti dikejar, digotong ke sekolah. Mereka mesti terus menerus diyakinkan akan pentingnya sekolah mengubah nasib, mengubah garis tangan.
Itu sebabnya, kayu dan rotan adalah 'santapan wajib' untuk anak-anak bandel yang suka membolos. Tak heran, dulu banyak anak sekolah menderita luka di bibir, di telinga karena dijewer, bengkak di tangan dan betis kena hantaman kayu atau rotan.


Tetapi itu dulu, pada zaman baheula. Sekarang? Tidak banyak lagi praktek seperti itu terjadi. Tetapi bukan berarti tidak ada lagi. Di banyak sekolah di Kabupaten Sikka, tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak murid masih ada. Hasil monitoring yang dilakukan Aksi Cinta Kehidupan Maumere bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta membuktikan adanya tindak kekerasan itu.
Hasil penelitian di Sikka itu menunjukkan bahwa pola kekerasan yang dilakukan di sekolah masih dibenarkan jika itu dilaksanakan dalam konteks pembinaan terhadap siswa untuk mendisiplinkan siswa. Namun bila diteliti lebih jauh, ternyata terdapat banyak dampak negatif dari tindak kekerasan. Dampak negatif ini nyata dalam perkembangan mental dan emosional siswa yang cenderung merosot. Secara intelektual mungkin kelihatan baik, namun secara mental emosional siswa menjadi tertekan, ketakutan dan kehilangan kepercayaan diri yang berakibat pada merosotnya perkembangan mental dan emosional siswa.
Galibnya, tindak kekerasan itu tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mengangkangi apa yang oleh pakar psikologi pendidikan, Benyamin Bloom, disebut sebagai taksonomi pendidikan, yakni membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatih keterampilan (conative domain). Rumusan Bloom berlaku semesta. Apa pun istilahnya, semua orang akan menjawab sama: sekolah bertugas mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan, dan berketerampilan.
Itulah ilham mengapa Pemkab Sikka bersama UNICEF Jakarta melakukan kajian mendalam melalui sebuah penelitian terhadap tindakan kekerasan dalam kondisi dan karakteristik budaya lokal dengan melakukan uji coba penerapan sekolah ramah anak di beberapa sekolah. Guna memperlancar pengembangan sekolah ramah anak ini, maka dibentuklah sebuah tim fasilitator kabupaten yang anggotanya dari pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Sikka, Bappeda Sikka, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerhati pendidikan di Sikka yang didampingi oleh konsultan UNICEF Jakarta. Tim ini berjumlah 11 orang, yakni Thomas T Watun BSc, Rm. Kanis Mbani Pr, Anton Timu, Samuel Natet, Wilibrodus Woga, BA, Geradus M. Meang, Drs. Jamaludin Dik (alm), Rosa Helena Parera, Klotilde Maria, Stanis P. Pitang, dan GM Rajalewa.
Tim ini didampingi oleh Konsultan UNICEF Jakarta, yakni Agustina Hendriati dan Masdjudi. Dari pendampingan ini, tim berhasil menerbitkan sebuah Modul Sekolah Ramah. Hebatnya, modul ini kemudian diterbitkan menjadi buku pegangan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk pengembangan sekolah ramah anak.
Modul ini berisi pedoman pelatihan bagi guru, komite sekolah dan orangtua tentang penerapan sekolah ramah anak di sekolah. Dengan modul yang ada, tim ini menyelenggarakan pelatihan bagi guru, komite sekolah dan orangtua siswa tentang sekolah ramah anak pada 14 sekolah inti dan 40 sekolah imbas di lima gugus di Kabupaten Sikka. Sekolah-sekolah inti dari pengembangan sekolah ramah anak itu adalah SDI Iligetang, SDK Nelle 2, SDK Nogodue, SDK Wolofeo, SDN Gaikiu, SDN Manukako, SDI Ahuwair, SDK Wolometang, SDK Boganatar, SDK Kewapante, SDI Enakter, SDK Feondari, SDK Bola dan SDK Lela I.
Dari hasil monitoring pada 7 sekolah inti (SDI Iligetang, SDK Bola, SDI Nogodue, SDK Kewapante, SDK Nelle2, SDI Ahuwair, dan SDK Lela 1) ditemukan bahwa pihak sekolah telah mulai mengembangkan secara bertahap sekolah ramah anak ini.
Ada sejumlah hal yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengembangkan sekolah ramah anak ini. Di antaranya guru berusaha untuk bertindak tidak lagi sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi menjadi pembimbing kelas atau mata pelajaran. Guru juga mengurangi sebanyak mungkin nada perintah menjadi nada ajakan. Guru berusaha menghindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa dan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi. Guru menjauhkan sikap ingin 'menguasai' siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap tidak dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa. Tidak ada hukuman fisik atau gangguan.
Walaupun pada awalnya terasa sulit, tetapi pengembangan sekolah ramah anak ini membawa beberapa perubahan atau hasil positif. Hal positif itu antara lain peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berkurangnya tindak kekerasan terhadap anak, baik di sekolah maupun lingkungan keluarga, anak menjadi lebih percaya diri. Banyak siswa mulai berani menyampaikan pendapat dan atau pertanyaan di dalam kelas. Siswa juga menyadari dirinya sebagai peserta didik yang mempunyai hak-hak atas pendidikan di sekolah oleh karena kebebasan dan penghargaan yang diberikan sekolah dan orangtua kepada mereka. Siswa juga menjadi lebih percaya terhadap guru, sebaliknya guru menjadi sahabat yang menyenangkan bagi siswa.
Hal positif lainnya adalah menurunnya angka absensi siswa/ bolos sekolah. Siswa senang ke sekolah karena suasana sekolah yang bersahabat dan menyenangkan, menurunnya angka drop out. Suasana belajar juga menjadi menyenangkan atau tidak monoton dan membosankan. Anak juga berani menyatakan pendapat atau sikapnya tentang sesuatu hal dalam kesepakatan kelas, terutama menyangkut hal-hal yang tidak mereka sukai.
Kecuali hal-hal positif, sekolah ramah anak juga memperlihatkan sejumlah hal negatif. Misalnya pola perilaku dan sikap siswa cenderung nakal dan tidak mematuhi aturan yang sudah dibuat serta sering membantah perintah guru oleh karena kebebasan yang diberikan kepada siswa. Selain itu, siswa juga sering bolos sekolah, bahkan tidak ke sekolah berhari-hari. Siswa juga tidak mau membawa alat-tulis menulis ke sekolah dan menjadi malas belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Hal ini berakibat pada menurunnya prestasi dan kelulusan siswa pada setiap tahunnya.
Sekolah ramah anak. Kehadirannya mempunyai dua sisi. Positif, juga negatif. Supaya yang sisi negatif bisa ditekan ke titik nol, butuh sosialisasi secara kontinyu semua stakeholder yang terlibat dalam urusan pendidikan.
Secara prinsip, sekolah ramah anak perlu dihidupkan. Sekolah harus bisa memberikan rasa nyaman kepada peserta didik. Rasa nyaman itu hanya ada ketika rotan tidak dibawa guru ke sekolah. (habis)

Pos Kupang, selasa 30 desember 2008

0 komentar:

Posting Komentar