Oleh : Tony Kleden
ADALAH Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir yang empunya novel. Novel itu berjudul "Woman at the Point Zero" (Perempuan di titik nol). Isinya berkisah tentang seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur dari sel penjaranya, tempat dia melaksanakan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang germo laki-laki. Alur ceritanya sangat keras, penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri.
Saya kutip sebagian isi buku itu. "Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati. Dan akibatnya, saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu."
Kutipan lain, "Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak".
Menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki- laki, buku ini berisikan kritik sosial yang teramat pedas. Dan, buku itu menjelma menjadi roh yang menggerakkan banyak pegiat gender di dunia. Memang, permasalahan tentang perempuan sepertinya telah menjadi masalah yang given, terberikan bagi siapa saja di dunia ini. Dan perjuangan membela perempuan, karena itu, dapat dikatakan merupakan sebuah perjuangan tanpa ujung, tanpa puncak.
Menurut banyak pengamat dan teori, permasalahan mengenai perempuan disebabkan oleh sejumlah banyak faktor. Tetapi dalam era kebebasan pers saat ini, ketimpangan, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, turut diberi angin oleh media massa dalam pemberitaannya. Salah satu andil pers di sini adalah mengeksploitasi berita dan atau tulisan tentang kekerasan terhadap perempuan. Tujuan pers adalah menaikkan tirasnya melalui eksploitasi berita-berita kekerasan terhadap perempuan. Sayang, tujuan ini justru menebarkan virus bagi kekerasan yang parah terhadap perempuan.
Pandangan pincang
Pada banyak tempat di muka bumi ini, perempuan masih saja mendapat perlakuan kurang baik, malah sangat sering disubordinasikan. Perlakuan pincang seperti ini telah lama berlangsung dan setua usia manusia. Kesaksian sejarah sangat eksplisit memaparkan aneka pandangan keliru tentang perempuan. Telaah misalnya beberapa pandangan berikut ini. Menurut Plato, filsuf Yunani kuno, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.
Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal, "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya". Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama. Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek pelecehan seksual (baca: persetubuhan) adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai pelacuran sakral.
Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya. Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa." Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian). Entah karena warisan pandangan seperti ini atau karena faktor perubahan lain, sampai hari ini nasib kaum Hawa belum sebaik kaum Adam. Sulit menyangkal kalau iklim dunia masih nyata terlihat dominasi struktur maskulinum: pria diutamakan, perempuan dinomorduakan. Pria identik dengan superioritas, perempuan identik dengan inferioritas. Dan seksisme merupakan paham yang secara tidak sadar membenarkan penindasan terhadap perempuan.
Di NTT hingga saat ini, dalam modus dan bentuk lain, pada beberapa tempat perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Seorang istri misalnya, berjalan kaki di belakang sang suami dengan barang bawaan di kepala atau di punggung, sedangkan sang suami dengan tenangnya duduk di atas kuda. Perempuan atau istri yang baik menurut penilaian laki-laki adalah yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang rajin mengambil air (pada banyak daerah di NTT mengambil air sering mengharuskan orang berjalan kaki berkilometer), yang rajin bangun pagi buta menyiapkan santapan bagi suami dan anak-anaknya, yang harus membereskan segala urusan rumah tangga, baru naik tidur ketika seisi rumah telah lelap dalam mimpi.
Berita-berita media massa di NTT juga hampir tidak pernah sepi dari kisah tentang kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Istri dibacok, siswi disekap, gadis diikat dan diperkosa dan semacamnya adalah isi berita yang kerap kita simak di lembaran media massa di NTT.
Perjuangan gender
Kita tak habis bertanya, sampai kapankah nasib perempuan menjadi baik? Sudah demikian bopengkah wajah bumi ini, sehingga kekerasan, ketidakadilan, inferioritas, subordinasi, pemerkosaan terhadap perempuan tetap saja eksis? Akankah mimpi kaum ini untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki digenapi? Mungkinkah cerita kemalangan kaum perempuan yang terbingkai nestapa dan rintihan air mata, berubah menjadi cerita keberhasilan, sukses berbalut roh heroik?
Masuk akal memang, dan seharusnya didukung, kalau gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, dilihat sebagai suatu perjuangan yang wajar dan bukan sekadar suatu ajang unjuk diri kaum perempuan. Perjuangan perempuan seperti ini telah lama bermula. Dalam sejarah kita misalnya, mengenal sekurang-kurangnya empat paham feminisme. Pertama, feminisme radikal, yang menganggap laki-laki dan perempuan tidak sama. Menurut paham ini, ketidakadilan dibuat oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka laki-laki harus dikalahkan. Kedua, feminisme liberal, berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama. Ketidakadilan adalah akibat tingkah laku perempuan sendiri. Ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki-laki. Ketiga, feminisme marxis, yang menganggap bahwa kapitalisme telah menguras tenaga kaum laki-laki demi penambahan modal. Karena tenaganya diperas di tempat kerja, maka di rumah laki-laki balik memeras perempuan yang bergerak di sektor domestik. Ketidakadilan seperti ini, menurut paham ini, hanya dapat disingkirkan kalau kapitalisme dilawan. Keempat, feminisme sosialis. Paham ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya tidak menghendaki ketidakadilan. Ketidakadilan adalah masalah manusia, bukan masalah laki-laki dan perempuan, maka harus ada kerja sama melawan ketidakadilan.
Pada masa sekarang ini ketika subyektivitas manusia semakin mendapat penekanan, perjuangan kaum perempuan mendapatkan kembali afirmasi dirinya, menemukan kembali 'surganya yang hilang' masih saja berjalan, seakan tak bertepi. Mengapa ketidakadilan yang dirasakan perempuan adalah nestapa yang berjalan beriringan dengan jejak langkah peradaban manusia? Struktur kebanyakan masyarakat yang bersifat patriarkat, tak dapat tidak sangat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan. Perjuangan perempuan mendapatkan kembali harga dirinya bukan lahir dari kesadaran bahwa mereka adalah perempuan, kaum Hawa yang lemah secara fisik, tetapi justru karena mereka adalah manusia dengan kualitas keluhuran yang sama dengan kaum laki-laki. Perjuangan perempuan untuk membela dirinya atau menegaskan kembali ke-"aku"-annya, tentu saja, tidak bermaksud menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan seperti ini adalah kenyataan biologis-fisiologis-psikologis yang terberi (given). Keterberian seperti ini, sampai kapan pun tak akan mungkin dipertukarkan.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Hasilnya? Perempuan sering lupa bahwa di dunia ini hanya dia yang memiliki kekuatan untuk menjadikan dunia ini suatu "rumah". Sangat sering peranan gender diidentikkan dengan peranan koderati. Keduanya, tentu saja, sangat berbeda. Gender adalah konstruksi sosial tentang peranan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh proses sosialisasi. Karenanya gender bersifat dinamis, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Sebaliknya peranan koderati adalah sesuatu yang inheren, yang dari khuluknya tidak dapat berubah. Kalau perjuangan gender, bila emansipasi, jika gerakan feminisme diletakkan dalam bingkai pemikiran seperti ini, maka segala upaya perjuangan, cita-cita mulia, mimpi indah kaum perempuan merupakan hal yang sangat wajar. Emansipasi, perjuangan gender, gerakan feminisme yang sesungguhnya adalah usaha menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kalau bingkai ini diabaikan, rasanya semua perjuangan itu cumalah nyanyian bisu anak hilang di tengah gemuruh perubahan zaman.
Jurnalisme gender
Reformasi yang melanda Indonesia medio tahun 1998 mendobrak banyak praktek kezaliman di negeri ini. Di bidang pers, terjadi perubahan paradigma yang sangat berarti tentang cara pandang pers yang benar. Pers yang sebelumnya mesti tiarap jika mau cari selamat, sekarang puas menikmati iklim kebebasan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada masa lalu ibarat tiket yang harus diperebutkan melalui upaya supermahal, pada awal reformasi tidak dipungut biaya. Lembaga Departemen Penerangan yang lebih berperan sebagai 'satpam' bagi pers dihapus. Dunia pers seakan mengalami masa bulan madunya, masa jayanya.
Dalam arti ini, pers Indonesia boleh dibilang mengalami suatu 'revolusi'. Di NTT, 'revolusi' di bidang pers juga jelas terlihat. Dalam rentang waktu tidak lebih dari 1,5 tahun, ikut terbit 6 media massa harian, 4 mingguan, 1 dwimingguan. Meski kemudian ada yang harus gulung tikar karena dililit masalah, toh kenyataan itu cukup merepresentasikan apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers. Di satu sisi, perkembangan ini mesti disambut positif. Artinya hegemoni dan dominasi penguasa dalam urusan penerbitan pers tidak ada lagi. Setiap orang boleh menerbitkan surat kabar atau majalah dengan cuma mendaftar di notaris. Dan setiap orang, boleh mendapat informasi sekehendak hatinya. Tetapi di lain sisi, perkembangan ini nampaknya juga diapresiasi secara berlebihan. Kran kebebasan pers yang dibuka, ditanggapi dengan hasrat dan keinginan menggebu-gebu membangun industri pers. Dapat dimengerti kalau kemudian muncul ribuan media massa cetak di awal reformasi. Sayangnya, kemerdekaan itu kerap kali diterjemahkan secara berlebihan dan karena itu lebih sering membawa masyarakat selaku konsumen media ke dalam labirin masalah.
Apresiasi yang keliru itu menemukan langgamnya melalui pemberitaan dan penampilan pers yang sensasional diiringi dengan pornografi secara terbuka. Dengan merujuk pada dampak sosial dan moral yang terjadi, tak dapat tidak mesti dikatakan bahwa apresiasi yang demikian lebih mengekspresikan ketidakpahaman gagasan dasar kemerdekaan pers. Di era pers sebagai industri, yang menekankan untung rugi, aspek bisnis menjadi penting bagi para pengelola pers. Pers kemudian menghadapi dilema keberpihakan, antara memilih idealisme atau komersialisme.
Bagi pers pilihan ini ibarat mendapat buah simalakama. Penekanan komersialisme akan melahirkan pers yang sensasional, eksploitasi selera rendah dan pertentangan. Sebaliknya penekanan pada idealisme semata tanpa memperhatikan aspek bisnis, penampilan dan pemasukan uang, akan membuat pers itu tidak berkembang.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi pers ini menunjukkan kemerdekaan pers sebenarnya tidak berarti tanpa batas. Di negara mana pun dan sedemokratis apa pun, tetap ada pembatasan terhadap pers. Sudah tentu apa yang dibatasi dan apa yang tidak dibatasi itu berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, bergantung pada konteks sosial-politik negara masing-masing.
Pada galibnya kemerdekaan pers berhasrat untuk mencari kebenaran, pengontrol penguasa, bukan untuk penyebaran pornografi, fitnah dan penghinaan. Menyertakan penyebaran segala macam informasi sampah ke dalam kemerdekaan pers adalah pengkhianatan dan penghinaan terhadap mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Tenggelam dalam eforia kebebasan itu, tampilan pers menjadi sangat norak, vulgar bahkan cenderung tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Fokus perjuangan pers terpusat pada penjualan koran, dan bukan pada bagaimana menyajikan informasi yang mendidik masyarakat. Dengan dalil menyebarkan informasi, tampilan pers dibuat sedemikian menarik mata melalui teknik montase foto porno, cerita sadisme guna menjual koran.
Di Kupang, keadaan seperti ini juga terlihat nyata. Inilah barangkali 'dosa suci' yang dilakukan pers. Eforia kebebasan itu juga melanda pers lokal di NTT terkait dengan pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan. Beberapa saat setelah terbit, Tabloid Metro Kupang misalnya, mendapat protes dari kalangan perempuan yang merasa kaumnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Jika disimak secara kritis, nampak bahwa berita-berita media massa di NTT yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan lebih terfokus pada detail tentang aksi kekerasan terhadap wanita, dan bukan pada bagaimana membangkitkan empati khalayak pembaca terhadap aksi kekerasan itu sendiri.
Bagi pers di NTT yang masih bersusah payah menaikkan tirasnya, pengemasan berita yang mengedepankan detail kekerasan dan terutama pornografi seakan diamini sebagai policy pemberitaan paling efektif. Idealisme pers yang terangkum dalam catur fungsinya yakni menyebarkan informasi, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial dan memberikan hiburan, rasanya semakin jauh dari gapaian.
Benar bahwa pers hidup antara lain dari berapa tiras yang dijual. Tetapi itu tidak berarti idealisme mesti mengalah tanpa kompromi terhadap aspek bisnis. Karena masing-masing media massa otonom dalam policy-nya, maka jalan paling aman yang dapat ditempuh adalah mengembangkan jurnalisme gender. Dengan jurnalisme gender di sini dimaksudkan, pertama, suatu prinsip jurnalisme yang menempatkan perempuan bukan lagi sebagai obyek (sasaran) berita yang bisa dieksploitasi. Dan kedua, masalah perempuan atau apa saja yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan sebagai titik akhir, tetapi menjadi titik awal dari suatu peliputan.
Memang tidak gampang mengembangkan jurnalisme gender dalam media massa. Karena hal itu berarti mengadakan transformasi yang bersifat mendasar terhadap visi dan struktur kerja dari kalangan wartawan. Kuatnya ideologi patriarki yang juga menjiwai dunia pers dan kalangan wartawan, merupakan masalah lain yang patut diperhatikan. Pendidikan dan pelatihan yang bervisi kesetaraan gender, agaknya dapat dilakukan setiap media massa. Selain visi gender, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pilihan kata (diksi) dalam pengemasan berita. Di Indonesia, dalam zaman Orba media massa umumnya seragam dalam penggunaan bahasa. Di masa ini, koran-koran nyaris seragam dalam memanfaatkan kekayaan bahasa untuk mengekspresikan opini atau gagasan. Keseragaman itu kini jadi cair setelah penguasa Orba lengser. Artinya, kini ada upaya dari kalangan pers untuk lebih memperkaya pemakaian bahasa dalam media massa. Kosa-kata yang dipakai pun kian beragam. Sebenarnya, sifat "gado-gado" dari bahasa pers bukan hal yang baru dan khas, namun merupakan kewajaran dari sifat seorang penulis atau wartawan yang tak suka dengan kata-kata yang monoton.
Karena bahasa pers antara lain merupakan refleksi dari kompleksitas cara berpikir para nara sumber dan wartawan, maka "kegado-gadoan" ucapan para nara sumber dan pilihan kata wartawan pada akhirnya muncul di halaman-halaman koran. Kosa-kata tertentu sering dipopulerkan wartawan dalam media massa. Simak misalnya kata "keong", 'nok-nok', "ciki-ciki", "ukur badan" dalan jargon pers NTT. Kosa kata ini oleh wartawan mulanya dimaksudkan untuk memperhalus (eufemisme), tetapi istilah ini justru mengesankan makna kekerasan dan bernuansa kasar. Pers menggunakan kata-kata spesifik dengan maksud menarik pembaca. Tetapi seringkali maksud ini justru berdampak terbalik.
Di tengah upaya dan hasrat menaikkan tiras penjualan, niscaya komersialisme masih tetap menang atas idealisme. Sangat sulit menarik garis tegas antara keduanya. Jurnalisme gender barangkali merupakan kompromi yang mungkin dapat menjadi via media (jalan tengah) mengawinkan kepentingan bisnis dan perjuangan gender.
Pos Kupang, 28 Agustus 2002
Jurnalisme gender sebagai via media
Senin, 26 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar