Sampah masyarakat

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden*

MUNGKIN selanjutnya di kemudian hari, kata "sampah" akan banyak digunakan dalam kehidupan politik di Indonesia, atau bahkan di berbagai kalangan masyarakat luas dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Setelah Presiden Megawati mengucapkannya di depan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara baru-baru ini di Jakarta, yang dihadiri 900 pejabat pemerintahan, arti kata "sampah" ini sudah tidak hanya terbatas pada segala kotoran atau barang yang tidak berguna yang sering kita temukan di jalan, di dalam rumah atau di halaman. Tidak pula hanya terbatas pada sampah yang banyak ditemukan dalam banjir akhir-akhir ini.
Dalam konteks situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia dewasa ini, kata "sampah" bisa dikaitkan dengan orang-orang atau hal-hal yang sudah membusuk, kotor, menjijikkan, tidak berguna, dan, karenanya perlu dibuang atau disingkirkan! Ungkapan semacam ini adalah tepat, jelas, dan "mengena" sekali untuk digunakan terhadap : segala tokoh yang melakukan KKN, para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, anggota-anggota DPR/DPRD yang mengkhianati amanat rakyat, hakim-hakim yang bisa dibeli, jaksa yang melacurkan diri, polisi yang memperjual-belikan undang-undang, advokat/pengacara yang memelintir hukum demi uang, pimpinan bank yang "merampok" uang publik, konglomerat yang melarikan uang rakyat ke luar negeri, anggota-anggota Mahkamah Agung yang menjadi perusak norma-norma hukum dan keadilan, kyai dan ulama (juga pendeta) yang menipu dengan menggunakan ayat-ayat suci, dan entah apa lagi lainnya.
"Sampah" semacam itu bisa kita lihat di mana-mana. Dan, kita bisa saksikan juga, bahwa bagian terbesar "sampah" itu adalah produk sistem politik Orde Baru. Namun, adalah jelas sekali juga, bahwa berbagai pemerintahan sesudah tumbangnya Orde Baru juga terus melahirkan sampah-sampah baru. Sampah-sampah baru ini bercampur-aduk dengan sampah-sampah lama yang terdapat dalam pemerintahan, lembaga-lembaga resmi maupun swasta, BUMN, bahkan juga di kalangan partai politik (PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll).
"Sampah-sampah" lama dan baru inilah yang sekarang menyebabkan kehidupan moral bangsa makin membusuk, memacetkan reformasi, menghalangi penegakan hukum, mencegat jalannya pemberantasan korupsi. Singkatnya, karena sampah-sampah itulah maka negara dan bangsa kita menghadapi begitu banyak penyakit parah dan berbahaya, sehingga sudah mulai megap-megap dan mungkin bisa pingsan nantinya. Begitu banyaknya sampah, sehingga banyak orang menjadi pesimis, apakah dengan pimpinan tokoh-tokoh Angkatan 45, Angkatan 65, Angkatan 74 (Malari), dan sebagian Angkatan 97 (sesudah tergulingnya Soeharto), Indonesia akan bisa punya "clean government". Sebab, banyak orang dari berbagai angkatan itu sudah begitu rusaknya, sehingga menjadi sampah masyarakat, yang bukan saja tidak berguna lagi, bahkan menjadi sumber penyakit bangsa. Situasi negara kita memang sudah betul-betul payah, sebagai akibat banyaknya sampah busuk yang merusak tubuh bangsa kita.
Utang karena sampah
Menteri Koordinator Perekonomian, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti di Washington, Senin (11/2) malam, menumpahkan uneg-unegnya tentang utang negeri yang kaya raya ini saat ini dan di masa yang akan datang. Uneg-unegnya ini dilampiaskannya selama hampir dua jam di depan kira-kira 200 orang Indonesia di KBRI Washington.
Dalam uneg-uneg yang dimuntahkannya dengan nada tinggi dan kekesalan besar itulah ia membeberkan betapa besarnya utang yang ditanggung oleh bangsa, sebagai warisan lama, dan yang sekarang menjadi tanggungan berat bangsa. Ia mengemukakan bahwa utang luar negeri Indonesia hampir sama dengan utang dalam negeri, yang masing-masing adalah sekitar USD 70 miliar. Tetapi, menurutnya, sebenarnya utang yang paling dahsyat itu bukan utang luar negeri. Utang luar negeri itu berupa soft loan, sehingga jangka pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga pinjaman ODA (Official Development Assistant) bahkan hanya 0,3 persen. Pinjaman dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen.
Tetapi, bunga untuk pinjaman dalam negeri itu sama dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yakni kurang lebih 17 persen. Dalam hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sama dengan sekitar Rp 655 triliun (Rp 655.000 000.000.000,00). Dengan bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya saja sudah sekitar Rp 60 triliun setiap tahun (dengan angka lengkap, supaya lebih jelas : Rp 60.000.000.000.000,00). Dan itu sama dengan USD 6 miliar. Sedangkan bunga utang luar negeri paling banter kita bayar hanya USD 2 miliar. Utang luar negeri ini bisa diusahakan untuk dijadwalkan kembali, kalau keadaan sudah mepet, seperti yang sudah-sudah.
Menurut Dorodjatun, yang parah adalah utang dalam negeri, sebab harus dibayar lewat budget (anggaran negara). Itu diambil dari penghasilan negara, yang dikeluarkan lewat bank-bank yang bangkrut. Supaya banknya tidak bangkrut, diberikan obligasi. Lantas, katanya, kita berikan penghasilan kepada bank, sehingga bank jalan. Jadi dengan begitu sebetulnya kita memberikan subsidi kepada bank-bank itu. Kalau kita tenggelamkan bank-bank itu, sekian juta nasabah bank kita tidak mempunyai lagi lembaga penjamin, tidak ada deposit insurance seperti yang semestinya.
Dalam uraiannya itu, Dorodjatun mengisyaratkan kekesalannya bahwa di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah harus mengganti. Kalau di AS, jaminannya dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100.000,00 USD. Sedangkan untuk Indonesia, untuk berapa pun, tidak ada jaminan seperti itu. Karena itu, kita terpaksa memberi blanket guarantee (jaminan menyeluruh) saat krisis 1998. Tidak peduli apa sebabnya, pokoknya semua yang berurusan dengan bank, diberi garansi. "Jadi enak saja, diganti. Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. Yang hebat, on budget dan off budget digaransi," ungkapnya ketika itu.
Kegemasan hatinya nampak ketika ia bicara tentang beban utang dalam negeri. "Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial hanya Rp 2,85 triliun, sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi (bank) Rp 60 triliun. Penghutang besar (dari kalangan berbagai pimpinan bank) itulah yang membikin negeri ini berantakan. Sebab, mereka lupa memenuhi kewajiban membayar utang-utang itu, dan ini sudah berlangsung selama 4 tahun", ujarnya dengan nada tinggi. Singkatnya, dengan panjang lebar Dorodjatun mengungkap berbagai keanehan dan ketidakberesan dalam sejarah masalah utang negara kita, yang selama ini tidak pernah terungkap.
Harus dibersihkan
Karena begitu banyaknya "sampah masyarakat" yang terdapat di mana-mana, lalu apakah bangsa kita harus berusaha menyingkirkannya? Harus! Sebab, tanpa membuangnya, maka kapal yang berbendera "Republik Indonesia" ini akan makin karatan, makin bolong-bolong, makin rapuh, makin bobrok, sehingga bisa tenggelam. Namun, kita semua perlu bersikap realistis dan menyadari bahwa pekerjaan "membuang sampah" ini tidak mudah, memerlukan waktu dan juga cara yang tepat.
Yang perlu mendapat prioritas untuk dibuang atau disingkirkan adalah "sampah kelas kakap", yang ada hubungannya dengan masalah kasus-kasus berat seperti penyelesaian praktek-praktek "konglomerat gelap". Sebab "sampah kelas kakap" inilah (baik yang di pemerintahan maupun di kalangan swasta) yang melakukan kejahatan yang besar sekali di bidang politik, ekonomi, dan moral, sehingga negara menjadi bangkrut akibat krisis berat yang multidimensional, seperti sekarang ini. Mereka inilah, yang dengan mempermainkan uang haram (sogokan atau kolusi), telah memperjualbelikan hukum dan kekuasaan. Mereka ini pulalah yang sebagai maling-maling besar telah mencuri secara besar-besaran - dan tanpa segan-segan - kekayaan publik. Mereka ini jugalah yang menyebabkan utang negara menggunung begitu tinggi, yang sekarang menjadi tanggungan yang berat bagi bangsa. Padahal, utang besar ini hanya dinikmati oleh para "sampah masyarakat" itu. Sedangkan ratusan juta rakyat hidup dalam penderitaan karena serba kekurangan.
Kiranya, sekarang makin jelaslah bagi banyak orang, bahwa "sampah masyarakat" kelas kakap inilah yang selama lebih dari 32 tahun telah mengotori iman banyak orang, merusak moral banyak kalangan, membusukkan hati-nurani banyak tokoh masyarakat, membunuh kepekaan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Karena ulah "sampah masyarakat" itulah maka banyak orang kehilangan kejujuran. Karena ulah "sampah masyarakat" itulah maka kebudayaan mengejar uang haram menjadi-jadi. "Sampah masyarakat" ini, yang terdapat di kalangan "atas", telah menjadi contoh jelek bagi banyak orang yang ikut-ikutan - secara berlebih-lebihan dan membabi-buta - mengejar kebendaan dan kemewahan yang haram, dengan menghalalkan segala cara.
Melihat sudah begitu luasnya dan begitu beratnya kerusakan-kerusakan yang sudah dilakukan "sampah masyarakat" terhadap negara dan bangsa, maka jelaslah bahwa segala usaha harus ditempuh sehingga "sampah masyarakat" ini tidak bisa terus merusak kesehatan tubuh bangsa kita. Untuk itu, opini publik perlu terus digalang dan digalakkan bersama-sama, guna mendorong dan mendesak pimpinan pemerintahan, DPR/MPR, aparat-aparat penegak hukum, untuk lebih berani dan lebih tegas bertindak terhadap "sampah masyarakat kelas kakap", tanpa pandang bulu.
Pos Kupang, 20 Februari 2002

0 komentar:

Posting Komentar