Oleh : Tony Kleden *
SABTU, 15 September 2001, sekitar pukul 21.30 Wita, Pater Dr. Herman Embuiru, SVD menghembuskan nafas terakhir kalinya di Rumah Sakit Sta. Elisabeth Lela, Sikka. Berita itu sudah pasti mengejutkan. Komunitas Societas Verbi Divini (SVD) kehilangan seorang anggota yang termasuk peretas jalan panggilan imamat kalangan pribumi di NTT, bahkan di Indonesia. Keluarga juga kehilangan seorang figur kebanggaan. Tetapi ketokohan Pater Herman menyebabkan kehilangan itu tidak hanya dirasakan oleh Serikat SVD dan keluarga. Lebih dari itu, kehilangan itu juga dirasakan oleh begitu banyak orang di NTT, juga di luar NTT yang pernah mengenal, mengakrabi dan merasakan sentuhan tangan Pater Herman.
Ketika mendengar kabar kematian itu, tangan saya terasa dingin. Sontak saya membayangkan map biru di meja kerja di kantor yang berisi artikel opini yang diketik langsung di mesin tik oleh jari-jarinya. Saya teringat, setiap hari Jumat dua minggu sekali, mesti menyiapkan artikelnya untuk diturunkan secara teratur pada hari Sabtu. Sejak awal tualang Pos Kupang Desember 1992, Pater Herman telah ikut bergabung melalui tulisan-tulisannya. Uniknya, beliau menulis artikel itu untuk beberapa bulan ke depan.
Saya tidak termasuk orang yang pernah di bawah beliau. Tetapi dari tulisan-tulisannya, komentar-komentarnya di berbagai forum, kesempatan wawancara dengannya, rasa-rasanya hanya ada satu kata yang pas menggambarkan sosok Pater Herman, yakni disiplin. Di hampir semua tempat di mana saja beliau berkarya, disiplin diterjemahkannya menjadi kebajikan yang mesti diikhtiarkan, dikejar guna dimiliki oleh siapa saja yang ingin maju. Jalan yang dipilihnya meraih ikhtiar ini bagi kebanyakan orang dirasakan terlalu keras. Tak aneh, kalau kemudian banyak orang lebih mengidentikkan beliau dengan kekerasan.
Dengan kebajikan ini Pater Herman mengabdikan diri. Yang patut diangkat, seperti telah diberitakan harian ini Senin kemarin, adalah pengabdiannya di bidang pendidikan. Sejak meraih gelar Doktor dalam bidang misiologi di Universitas Gregoriana Roma tahun 1952, dunia pendidikan menjadi ladang kerjanya. Dari satu sekolah ke sekolah lainnya, Pater Herman beranjak membaktikan diri. Sosok ini sepertinya dilahirkan untuk menjadi pemimpin lembaga pendidikan, kepala sekolah atau rektor, pimpinan yayasan persekolahan dari tingkat dasar hingga lanjutan, Rektor Universitas, Ketua Akademi. Semua pengalaman ini menjadikan Pater Herman lebih pas disebut sebagai pedagog, ketimbang misiolog.
Pengabdiannya di bidang pendidikan ini diperaninya secara purna, total dan penuh tanggung jawab. Beliau lahir dan hidup pada masa yang sangat tepat, ketika negeri ini umumnya dan kawasan nusa tenggara khususnya, masih dalam taraf mencari bentuk pendidikan yang pas. Di tengah kemiskinan rakyat di mana pendidikan masih merupakan sesuatu yang mahal, Pater Herman coba mencari cela bagaimana ideal pendidikan itu dapat diterapkan. Jika boleh menafsir, maka menurut saya Pater Herman coba mentransformasikan pendidikan gaya seminari dengan tuntutan keadaan. Bisa diperiksa, tempat di mana beliau mengabdi, di situ yang paling pertama dilakukannya adalah menata lingkungan mulai dari bunga di taman hingga lapangan permainan.
Berdasarkan tradisinya, pendidikan seminari bisa ditempatkan dalam kerangka perkembangan pendidikan klasik di Eropa, yang diilhami oleh cita-cita renaisans, yang dalam metodenya menerapkan beberapa tradisi pendidikan Abad Pertengahan. Dalam arti itu, pendidikan seminari bercita-cita mengembangkan homo universalis, yang direfleksikan dalam istilah educare yang kemudian diambil alih ke dalam bahasa Inggris menjadi education. Dan, seminari kemudian dipandang sebagai locus educare atau tempat di mana tugas educare itu dilaksanakan.
Homo universalis itu adalah tipe ideal untuk pendidikan renaisans. Setiap orang mendapatkan kesempatan mengembangkan semua atau sebagian besar bakat yang ada di dalam dirinya. Semua bakat diusahakan untuk ditemukan dan diberi kesempatan untuk berkembang. Spesialisasi yang berlebihan sedapat mungkin dihindari. Dan, sangat kentara kalau Pater Herman sendiri adalah contoh homo universalis yang berhasil. Beliau sangat paham mengenai teologi, ahli di bidang misiologi, berbakat luar biasa di bidang pendidikan, tetapi juga piawai memainkan musik dan menyanyi serta jagoan di lapangan bola kaki.
Cita-cita pendidikan gaya renaisanse ini tercermin dalam istilah educare, yang merupakan bentuk yang disederhanakan dari ex-ducere, yang berarti menarik keluar segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri seseorang peserta didik. Semua bakat peserta didik oleh para pendidik (eductores) coba ditemukan dan ditarik keluar dari tempat persembunyiannya dalam kepribadian peserta didik, untuk kemudian disemaikan (untuk diingat, seminari artinya tempat persemaian) di sebuah tempat persemaian.
Style pendidikan inilah yang agaknya diadopsi oleh Pater Herman untuk dikembangkan. Kampus yang rindang, halaman yang penuh bunga, suasana yang hening sepi, lapangan permainan yang kondusif adalah ciri paling dominan dari taman pendidikan yang ditanganinya. Semuanya ini menjadi prasyarat guna meletakkan benih-benih bakat dan talenta peserta didik.
Latar belakang pendidikan, alam pemikirannya berikut kondisi sosial politik nasional semasa Orde Baru dan Orde Lama, turut menjadi daya dorong mengapa gaya pendidikan ini diadopsi. Tidak dipungkiri bahwa birokratisasi pendidikan yang dilakukan oleh Orde Baru menimbulkam berbagai kesulitan dalam pendidikan. Orde yang terkenal korup ini misalnya berhasil menginstrumentalisasikan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah atas cara sedemikian rupa, sehingga pendidikan dan pengajaran tidak lagi menjadi sarana untuk mengembangkan bakat-bakat peserta didik, tetapi sebaliknya justru menjadi alat bagi negara untuk mengontrol masyarakat dan warganya. Kreativitas dan daya cipta peserta didik dikebiri melalui sistem pendidikan. Soal ujian dalam bentuk pilihan ganda adalah contoh paling baik menjelaskan model pengebirian kreativitas dan daya pikir peserta didik.
Kontrol terhadap pendidikan itu dilakukan oleh birokrasi. Yang menentukan arah pendidikan bukan para guru dan pendidik, tetapi para birokrat pendidikan. Merekalah yang menentukan buku teks/pegangan, cara ujian, jam pelajaran, kurikulum dan isi pelajaran. Para guru dan pendidik bukan dilihat sebagai para profesional di bidang keahlian mereka, tetapi sebaliknya justru diperlakukan sebagai pegawai Departemen Pendidikan, yang hanya menunggu perintah dan petunjuk.
Style peserta didik model inilah yang kita temukan saat ini. Yang paling menonjol adalah kemampuan mekanis ini : menghafal dan bukannya memahami, mengulang dan bukannya menguraikan, mengikuti saja apa kata guru dan bukannya mencoba merumuskan dan menyatakan pendapat dan pikiran sendiri. Pendidikan model ini memperlakukan otak manusia seakan seperti disket atau kaset yang hanya merekam, dan bukannya alat berpikir.
Gaya dan style pendidikan ini coba ditransformasikan oleh Pater Herman. Situasi dan tuntutan keadaan bukannya diabaikan, tetapi sebaliknya diteliti untuk menemukan langgam yang pas guna menerapkannya. Tuntutan spesialisasi (ada sebuah lelucon bunyinya begini : spesialization is to know more and more about less and less = tahu makin banyak tentang apa yang makin sedikit) bukannya dijauhi, tetapi pendalaman bidang lain secara serius tetap menjadi penting. Standardisasi disiplin ilmu sebagai back ground tetap sangat penting, tetapi social intelligence sebagai back mind juga tidak kalah penting. Mental entrepreneurial akan menjadi lebih bermakna jika didukung oleh mental artistik dan bakat-bakat pribadi. Sejumlah anak didik Pater Herman yang kini malang melintang di berbagai sektor di dunia kerja bersaksi bahwa cara didik ala Pater Herman memberikan mereka kesempatan menemukan lebih banyak ruang untuk menentukan pilihan tanpa mesti stres.
Mengapa style pendidikan seperti ini yang coba diikhtiarkan Pater Herman? Arus global penyatuan umat manusia berikut segala implikasi praktisnya agaknya menjadi asumsinya. Di tengah arus besar globalisasi yang kuat dicirikan oleh industrialisasi, back ground dan back mind yang melatari penemuan dan penghayatan jati diri membuat orang tidak menjadi korban arus kemajuan. Industri hanya mungkin berjalan atas landasan standardisasi. Produksi massal mengandaikan konsumsi massal. Standardisasi produksi mengandaikan standardisasi selera dan gaya hidup. Akhir dari penyeragaman gaya hidup adalah homogenisasi kebudayaan. Nah, homogenisasi inilah yang saat ini terus menerpa pusat kesadaran kita dengan begitu banyak tawaran sebagaimana dijual melalui iklan televisi, majalah dan surat kabar. Kalau Herbert Marcuse berbicara tentang "one-dimensional man", maka globalisasi kebudayaan membawa kita ke arah "one-dimensional society". Kota Kupang telah dicanangkan sebagai kota budaya. Implikasi pencanangan ini sangat luas.
Ancaman besar inilah yang agaknya sangat disadari oleh Pater Herman. Maka, di dalam benaknya pengetahuan di sekolah tidak pernah boleh dilihat sebagai terminus ad quem, atau tujuan akhir yang harus dikejar, tetapi lebih merupakan conditio per quam, atau kondisi yang menyiapkan orang menghadapi hidup secara gentle. Terima kasih Pater Herman, titian yang benar telah kau tunjukkan.
Pos Kupang, 18 September 2001
Pendidikan sebagai conditio per quam (In memoriam Pater Dr. Herman Embuiru, SVD)
Senin, 26 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar