Mimpi seroang anak negeri

Jumat, 16 November 2007

Oleh : Tony Kleden
ADALAH
Epiklitus yang empunya pikiran. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki dua macam pegangan. Yang satu bertangkai emas. Sedangkan yang lain bertangkai timah. Semua kita boleh mengalami problema hidup yang sama. Akan tetapi cara melihat problema itu justru ditentukan oleh tangkai mana yang dipegang.Itu cerita tempo dulu di Yunani, tempat pertama benih demokrasi disemaikan. Dibawa ke dalam ruang sidang DPR/MPR saat ini di Jakarta, maka cerita itu menemukan relevansinya. Para wakil rakyat yang terhormat saat ini sedang pening bersidang merumuskan sejumlah agenda pembangunan sesuai semangat reformasi. Yang paling utama dan karena itu mendapat porsi perhatian paling besar adalah memilih presiden ke-4 negara dengan urutan kelima jumlah penduduk terbesar di dunia ini.Sampai sejauh ini, bandul capres masih terarah pada tiga nama ini: Megawati Sukarnoputeri, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan B.J. Habibie. Lobi dan bargaining politik tengah giat dilakukan. Titik kuat dan titik lemah masing-masing calon dievaluasi secara cermat, entah itu oleh kelompok fraksi maupun oleh masing-masing anggota dewan.Jika kekuatan Megawati terletak pada pribadinya sebagai simbol reformasi dan personifikasi kaum kecil dan lemah serta diterima masyarakat luas, reputasi Gus Dur terletak pada sikapnya yang sangat moderat, berdiri di atas semua golongan dan punya wawasan yang luas, maka kepiawaian Habibie justru terletak pada pengalamannya di bidang pemerintahan. Kalau kapabilitas Megawati diragukan, jika kesehatan Gus Dur dipertanyakan, maka kelemahan Habibie justru terletak pada akseptabilitasnya yang kurang dan simbol kelompok pro-status quo yang melekat dalam dirinya. Untuk suatu mekanisme yang bernama pemilihan pemimpin, mempertimbangkan titik kuat dan titik lemah merupakan sesuatu yang wajar dan sah- sah saja.Di pundak salah satu dari tiga figur ini (menurut agenda sidang, presiden akan dipilih pada 20 Oktober mendatang) terletak tugas mahaberat mengantar rakyat Indonesia memasuki gerbang Indonesia Baru. Kita percaya bahwa para wakil rakyat di Senayan belum buta melihat atau tuli mendengar tuntutan dominan rakyat negeri ini: koreksi total terhadap Orde Baru dengan roh reformasi.Bagaimana dan seperti apa wajah Indonesia Baru itu terpetakan dalam format dan model pembangunan di segala aras kehidupan kelak, belum jelas. Apakah itu hanya semboyan utopis yang dipakai sebagai jargon oleh partai besar guna menaikkan harga jual kandidat, tidak ada yang dapat memastikan? Dalam koridor politik, kenyataan seperti itu tetap saja sah. Kenyataan juga sama sahnya kalau seorang anak negeri ini bermimpi mengenai wajah Indonesia Baru itu kelak. Mimpi anak negeri ini barangkali terlalu ideal, tetapi ketika disadari bahwa mimpi itu bisa dilihat sebagai suatu potentia, maka panggilan menerjemahkan potentia itu menjadi actus merupakan suatu yang upaya yang patut dihargai.Beginilah mimpi anak negeri itu. Suatu siang, mengenakan celana pendek dengan baju kaos leher bundar, dia masuk ke salah satu restoran mewah. Pada meja di samping kirinya duduk menteri agama. Dia berpakaian sempurna, sepatu mengkilat, dasi terikat rapi, jas licin. Bersama para asistennya, mereka larut dalam diskusi mencari bentuk toleransi hidup beragama di Indonesia. Asistennya yang beragama Islam protes. Selama ini, katanya, orang Kristen sulit sekali mendapat izin mendirikan gereja, terutama di Pulau Jawa. Selalu ada alasan menolak permohonan itu.Itu betul. Kawannya yang beragama Katolik menimpali. Saya juga heran, katanya. Banyak dari kami yang mengaku menempatkan kasih di atas segala-galanya paling bosan dengan acara mimbar agama Islam di televisi. Padahal, kawan mereka dari Protestan menyambung, jika mau berpikir secara positif, mimbar seperti itu juga dapat menambah wawasan, biar pemahaman terhadap agama Islam tidak sempit. Yang terjadi selama ini, kita saling curiga dan punya apriori terhadap yang lain.Tidak tahan menunggu giliran, asisten dari Bali dan beragama Hindu angkat bicara. Nah, katanya, sikap curiga dan apriori itulah yang antara lain menjadi biang segala kerusuhan dengan latar belakang SARA di tanah air selama ini. Lihat saja di Ambon. Menurut orang Ambon sendiri, sejak dulu mereka tidak pernah terlibat dalam perseteruan yang demikian parah. Memang ada provokator, tetapi jika orang Ambon sendiri punya pemahaman tentang agama sesama warga lain, saya kira tidak akan ada nyawa yang meregang di propinsi rempah-rempah itu.Semua terdiam sesaat. Tak lama, sambil meraba-raba janggutnya, menteri agama mulai mencoba menyimpulkan. Begini, kata sang menteri, sekian lama kebanyakan kita hidup penuh curiga. Mengaku beriman, tetapi sikap kita tidak beda dengan orang yang tidak beragama. SARA dengan gampang dijadikan senjata membantai kelompok yang lain. Dengan pedang SARA di tangan, semua orang sepertinya menemukan roh heroisme untuk bangkit dan memberontak. Atas nama "tuhan kebebasan" manusia justru terancam proses perbudakan; atas nama "tuhan kemanusiaan" manusia justru terancam proses dehumanisasi tanpa batas. Padahal SARA mestinya dilihat sebagai aset, kekayaan dalam jagat pluralitas, kemajemukan dan sosialitas masyarakat. Sebab secara historis, SARA selalu menyertai perjuangan dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Di basis paling dasar dari kehidupan bangsa Indonesia terletak SARA. SARA adalah biji (seed) atau benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Di mana pun kita mencari identitas asli bangsa ini kita akan bertemu dengan kenyataan yang berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras dan pluralisme dari golongan-golongan profesi, ideologi, kelas ekonomi dan lain-lain, yang berwarna-warni.Selama lebih dari tiga dasawarsa, kerukunan hidup masyarakat Indonesia cepat retak terhadap isu-isu yang tidak pernah jelas asal mula dan ujung pangkalnya. Pembangunan maju pesat, tetapi harmoni masyarakat hancur berantakan. Stabilitas negara terpelihara, tapi pada inti batin setiap individu kental sikap mencurigai orang lain. Semangat humanistik sebagai khasanah masyarakat sedari dulu, berubah dengan semangat komunalistik. Kedamaian yang terdapat dalam harmoni masyarakat dirusakkan oleh penyakit sosio-psikologis dimana orang semakin tidak mampu menghayati diri sebagai "kita saudara sebangsa". Semboyan "kita sama-sama manusia" diganti dengan "kami" yang berhadapan dengan "mereka". "Mereka" itu adalah "yang lain", bisa dari suku lain, agama lain, ras lain, golongan sosial lain, atau asal usul lain. Penyempitan kemampuan untuk menghayati diri secara inklusif itu saat ini semakin menjadi-jadi. "Kami" menjadi semakin sempit, "mereka" semakin luas.Itu terlalu abstrak. Saya tidak terlalu paham. Bagaimana contoh konkritnya? Tanya asisten beragama Budha tak mengerti. Contohnya, pelecehan mahasiswa yang unjuk rasa menentang Presiden Habibie dikategorikan sebagai gerakan "anti Islam", padahal kebanyakan mereka Islam juga. Setelah memberi contoh itu sang menteri melanjutkan petuahnya. "Mereka" adalah orang luar, terhadapnya "kami" merasa acuh tak acuh, mudah curiga dan berprasangka. Lalu mungkin karena takut, akhirnya mudah dihasut untuk menyerang simbol-simbol "mereka" itu. Itulah sebabnya dalam masa pemerintahan mendatang kita bertekad memperbaiki semua kebobrokan itu. Kita berusaha menumbuhkan kembali semangat menjunjung tinggi satu terhadap yang lain. Dengan kesadaran bahwa agama merupakan Weltanschauung, kita mencoba menegaskan kembali tempat dan makna agama dalam praksis hidup berbangsa dan bernegara. Semuanya ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh siapa pun yang bakal menjadi presiden periode mendatang.Terbengong-bengong anak negeri itu mendengar diskusi menteri agama bersama para asistennya. Dia berusaha mengingat satu dua hal penting, tetapi lebih banyak yang dia lupakan. Akhirnya dia keluar dari restoran itu dan duduk merenung di pojok restoran. Tak lama datang serombongan mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi menentang kecurangan praktek bernegara di tanah air. Salah seorang wakil mahasiswa naik panggung dan mulai berorasi. Ketika para pendiri republik ini menyiapkan kelahiran Indonesia sebagai negara kesatuan, kata mahasiswa itu, mereka menyadari bahwa kualitas moral sangat penting baik untuk pemimpin maupun untuk rakyat. Hal ini tampak dari nilai-nilai etis dasariah yang dirumuskan dalam ideologi Pancasila. Tetapi, untuk sebuah negara yang sangat luas wilayahnya dengan penduduk yang pluralistik, Indonesia tidak mungkin dibangun hanya atas norma etis semata-mata. Indonesia sejak awalnya dirancang sebagai negara hukum (rechtstaat). Hukum memang penting, tetapi yang menentukan jatuh bangunnya suatu negara adalah kebajikan moral. Hukum bersifat subsidier, sebab hukum hanyalah huruf-huruf mati yang bisa ditafsir dan disalahtafsir.Dalam sistem politik modern, nilai-nilai etis langsung diterjemahkan menjadi norma hukum positif melalui perundang- undangan. Hukum adalah sistem peraturan kelakuan bagi masyarakat yang bersifat normatif. Hukum dan kekuasaan adalah dua aspek kehidupan politik yang tidak dapat dipisahkan. Hukum tanpa kekuasaan bersifat lumpuh. Kekuasaan tanpa hukum bersifat buta dan karena itu sewenang-wenang. Akan tetapi negara hukum dicirikan oleh empat elemen pokok ini. Pertama, adanya asas legalitas. Artinya tindakan pemerintah haruslah dijalankan atas dasar perundang-undangan. Para pejabat atau alat negara hanya boleh menggunakan kekuasaan mereka sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan menurut cara yang ditentukan dalam hukum itu. Kedua, pembagian kekuasaan. Ini berarti kekuasaan negara tidak pernah boleh bertumpu pada satu orang saja. Sejak Montesquieu dikenal tiga pilar yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian ini memungkinkan saling kontrol dan perimbangan kekuasaan. Praktek pemerintahan selama rezim Orde Baru harus dihapus, karena presiden terlalu berkuasa, sedangkan rakyat terlalu lemah.Ketiga, pengakuan hak-hak dasar. Yang disebut hak-hak dasar adalah hak-hak asasi manusia yang sudah diterjemahkan menjadi hukum positif, sehingga pelanggarannya dapat dituntut di depan pengadilan. Keempat, pengawasan pengadilan. Sekian lama lembaga peradilan kita tidak lebih dari panggung mementaskan sandiwara yang tidak lucu. Dalam sebuah negara hukum, pengadilan yang bebas merupakan saluran bagi rakyat menguji keabsahan tindakan pemerintah.Mahasiswa itu semakin berapi-api. Dia kemudian menguraikan mampetnya praktek demokrasi. Mestinya dalam asas demokrasi, katanya, rakyatlah yang mengawasi pemerintah, dan masyarakatlah yang mengontrol negara. Tetapi praktek demokrasi ini tidak berjalan. Selama tiga dasawarsa pengawasan politik tidak terwujud dalam social control (pengawasan masyarakat), tetapi justru dalam state control (pengawasan oleh negara). Pengawasan oleh masyarakat seharusnya dilakukan melalui wakil-wakilnya di DPR, lembaga pers, kelompok yang dapat melakukan tekanan politik (pressure group) seperti mahasiswa, cendekiawan, LSM. Sebaliknya pengawasan oleh negara dilakukan melalui birokrasi dan militer, atau lembaga-lembaga indoktrinasi seperti P4. Sangat sering pengawasan oleh negara menyingkirkan pengawasan oleh masyarakat. Apa contohnya? Teriak seorang mahasiswa minta bukti. Contohnya Golkar. Selama Orde Baru Golkar menjadi the ruling party dengan kekuasaan yang demikian besar, tetapi Golkar tidak pernah boleh diawasi oleh oposisi politik mana pun. Karena itu sesuai semangat reformasi, dalam masa pemerintahan mendatang praktek penyelenggaraan pemerintah seperti ini harus dibalikkan.Anak negeri itu makin semangat. Matanya tambah terang, telinganya berdiri mendengar kotbah mahasiswa itu. Tetapi di tengah teriknya matahari yang membakar ubun-ubun, kerongkongnya mulai mengering. Membawa rasa hausnya yang tak tertahankan, dia mencari pengecer air mineral. Puas melepas dahaganya, iseng-iseng dia mengamati lembaran koran hari itu, hingga matanya tertuju pada satu tulisan ini, "Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju Indonesia Baru". Merasa penasaran dengan tulisan itu, dia coba merenung dan terus merenung. Apa yang terjadi dengan kemerdekaan itu jika tidak diisi secara benar dan bertanggung jawab? Pertanyaan ini menjadi pusat permenungannya. Ah....akhirnya dia menemukan satu jawaban hipotetis. Kemerdekaan itu bukan lagi jembatan emas, tetapi jembatan putus. Maka dia membangun tekad baru, menyusun langkah, mengatur strategi. Dengan pimpinan sang harapan, dengan keringat sebagai lambang jerih payah sendiri, dengan masa kini sebagai titik tolak, dengan masa lalu sebagai pesangon, anak negeri itu bergerak menuju ke happy land yang bernama Indonesia Baru.Di tengah jalan dia bingung. Di hadapannya ada dua persimpangan. Yang satu menuju jembatan emas, yang lain menuju jembatan putus. Dia bingung memilih. Dalam kebingungan itu datang Epiklitus dan bertanya, Anda memilih yang mana? Belum menjatuhkan pilihannya, anak negeri itu terbangun dari tidurnya. Astaga, ternyata saya bermimpi, katanya.
Pos Kupang, 11 Oktober 1999

0 komentar:

Posting Komentar