Tahta untuk rakyat (Catatan Pilkada)

Senin, 26 November 2007

Tony Kleden

MESKI tidak banyak diberitakan, ternyata cerita pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada) di NTT jauh lebih seru, menarik dan lagi menggelikan.
Di suatu kabupaten, seorang calon bupati yang gagal sampai melempar tim suksesnya dengan handphone. Para tim suksesnya diumpat habis-habisan. Di kabupaten lain, seorang 'bupati urung', marah besar terhadap tim suksesnya yang gagal mengemban misi. Kulkas dibalik, tv rebah mencium lantai. Meja makan disepak, kursi ditendang. Dan... braaakkkkk... piring dan gelas serta barang pecah belah lainnya pecah berantakan, berkeping-keping.
Itu tentang sang calon 'bupati urung'. Cerita menarik juga datang dari para keluarga inti. Ada istri calon yang melonjak tensi darahnya. Yang lain mesti duduk di kursi roda. Ada yang lemas, kehabisan gairah hidup. Yang lain lagi stres membayangkan utang yang mesti dilunasi. Ada yang pusing memikirkan harta kekayaan yang telah digadaikan. Yang lain lagi membayangkan lantai penjara yang dingin. Ada yang langsung down karena kehilangan kesempatan unjuk kekayaan. Yang lain lagi pangling membayangkan ditinggalkan para dayang-dayang.
Masuk akal, memang. Soalnya, harta terkuras. Simpanan amblas. Tabungan bablas. Rumah dan tanah pindah tangan. Barang perhiasan ludes, masuk di lemari pegadaian. Dan, pikiran menerawang, mewanti-wanti sindrom 3S : stres, stroke, stop. Semuanya karena 'kursi panas.'
Insiden dan aksi di atas menunjukkan begitu banyak tema cerita, mempertontonkan beragam sudut pandang, membuka aneka perspektif dan menghidangkan tidak sedikit lelucon yang menggelikan. Tetapi, insiden dan aksi itu juga menunjukkan serius dan sengitnya pertarungan memperebutkan kursi.
Ya, kursi. Semua orang telah sangat akrab dengan perabot rumah ini. Di ranah kehidupan biasa, dia cumalah tempat duduk. Biasa sekali. Tetapi di ranah politik, barang ini tidak cuma sekadar tempat duduk. 'Keberadaan'-nya sudah luar biasa. Dia demikian angker. Empuk menggoda selera. Panas menarik minat. Tidak semua orang bisa merasakannya. Pertumpahan darah gampang terjadi karena kursi.
Mau lihat contoh? Buaanyaaak.... Kepala dinas/instansi di kabupaten-kabupaten terlibat menjadi tim sukses dalam ajang pilkada. Camat-camat dikerahkan untuk berkampanye buat calon tertentu. Lurah dan kepala desa sama saja, jadi ujung tombak di lapangan. Semuanya dilakukan demi kursi panas, kursi jabatan itu. Dan, so what, gitu lho....
Libido merebut kursi begitu hebat bergemuruh. Banyak uang dihamburkan. Akal bulus dimanfaatkan. Pikiran kotor ditempuh. Aksi vandalis dipraktekkan. Tetapi, pilkada di enam kabupaten di NTT menunjukkan hasil yang kontras. Ternyata uang di saku, rekening di bank, tim sukses yang berjubel lengkap dengan handphone, kekuasaan yang tergenggam di tangan, tidak punya daya.
Soalnya, rakyat sudah menyiapkan kursinya sendiri. Kursi itu benar-benar disiapkan rakyat menjadi tahta. Tahta buat orang yang diberi mandat untuk mengatur mereka. Tahta bagi pemimpin yang akan menunjuk mereka jalan keluar dari aneka persoalan hidup yang membelit. Tahta untuk si ratu adil yang memerintah dengan arif-bijaksana. Tahta bagi orang yang rendah hati dan menjadi contoh untuk menapaki titian hidup secara sehat, fair, sewajarnya dan mau live in di tengah rakyatnya. Merasakan denyut kehidupan rakyatnya. Menyaksikan rakyatnya yang berpeluh di tengah kerasnya perjuangan hidup.
Ya, rakyat menyiapkan kursi sendiri. Tidak ada yang mengatur. Tidak banyak yang datang mengajarkan dan meminta mereka menyiapkan kursi itu. Mereka telah sadar dan sadar diri. Kesadaran itu datang dari pengalaman sekian puluh tahun. Pengalaman itu membuat mereka melek dalam urusan politik. Tidak lagi bodoh dan mudah dibodohi.
Dana kampanye miliran rupiah yang gagal mengantar sang calon adalah contoh nyata tentang kedewasaan rakyat dalam pilihan. Terima uangnya, tendang orangnya! Begitu sikap mereka. Rakyat telah menunjukkan kedewasaannya dengan tidak tergoda untuk larut dalam kekerasan politik yang biasanya menyertai pemilihan umum. Mereka sudah bosan menyaksikan adegan-adegan kekerasan politik yang begitu mendominasi dinamika politik. Mereka sudah kenyang dengan janji manis dari mulut-mulut yang berbusa-busa.
Perubahan sikap dan pandangan politik itu menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat tidaklah statis. Mereka sudah berubah. Sudah bisa memberikan apresiasi kepada figur yang diyakini bisa mengaspirasikan suara, harapan dan kepentingan mereka. Karena itulah, mereka telah mampu memiliki preferensi masing-masing terhadap figur yang dijual partai pengusung.
Rakyat Manggarai, misalnya, sudah tentu ingin agar predikat penghasil kopi dikembalikan. Pemimpin mereka, karena itu, semestinya bisa memberi perhatian terhadap kopi, dan bukan sebaliknya yang cuma bisa membabatnya. Yang mereka butuhkan adalah jalan raya yang teretas menuju kantong-kantong daerah pertanian. Yang mereka impikan adalah harga vanili, cengkeh dan beras yang stabil. Proyek mercusuar stadion seharga Rp 25 miliar masih terlalu jauh dari kebutuhan mereka. Siapa yang bakal menikmati Santiago Barnebaeu-nya Ruteng itu? Tidak lebih dari satu dua kontraktor dan pejabat.
Rakyat Flores Timur pasti sudah malu dijuluki 'kabupaten seribu soal.' Yang paling mereka butuhkan bukan kapal yang seperti kubur. Indah dari luar, tapi isi perutnya hancur berantakan. Dan, karena itu lebih banyak 'opname' di Dermaga Larantuka. Mereka juga sudah yakin akan mubazirnya hotel berbintang di Mokantarak. Siapa yang bakal menjadi tamu di situ? Mereka mafhum, dalam urusan jual menjual jasa, konsumen adalah raja. Dan, raja tidak akan pernah mau menginap di sebuah hotel yang berbatasan langsung dengan tangki minyak pertamina yang sesewaktu siap menghidangkan lidah-lidah api. So what?
Rakyat Sumba Barat sudah tentu menginginkan agar pisang-pisang hasil kebun mereka tidak habis terangkut ke Bima. Mereka tentu mengharapkan agar pemimpin mereka nanti bisa menunjukkan jalan buat mereka bagaimana pengolahan pasca panen pisang-pisang itu.
Manggarai Barat juga sama. Rakyat kabupaten kaya wisata itu butuh manejer yang telah berpengalaman. Bukan anak bawang, yang baru nongol batang hidungnya dan menyetor muka saat pilkada.
Semestinya kita berbangga. Pengalaman di enam kabupaten di NTT, yang sukses dalam hajatan pilkada, mampu menjungkirkbalikkan asumsi yang lama dipegang. Rasionalisme mulai menggeser tradisionalisme.
Anda mau duduk di kursi yang disiapkan rakyat itu? Tanamlah saham sedari awal. Taburlah kebajikan sedari mula. So what...?? *
Pos Kupang Sabtu 6 Agustus 2005

0 komentar:

Posting Komentar