Tony Kleden
ENAM Kabupaten di NTT saat ini -- Manggarai, Manggarai Barat, Ngada, Flores Timur, Sumba Timur dan Sumba Barat -- tengah menggelar sebuah pasar terbuka. Pasar terbuka ini menjual program-program dari para pedagang yang bertarung mati-matian merebut kursi kepala pasar, eh... kepala daerah.
Di pasar itulah, perhatian, konsentrasi dan energi massa tersedot. Ramainya pasar itu pun mampu menggeser isu kelaparan, gizi buruk, busung lapar, penanganan KKN yang seolah tak punya juntrungannya. Taruhannya juga banyak: karier, jabatan, harta dan gengsi. Para pedagangnya pun tampil dengan gaya berbeda. Ada yang tenang menghanyutkan, yang lain lantang berteriak. Ada yang kalem mempesona, yang lain bernafsu bak hendak menelan orang. Ada yang gemar memuji diri, yang lain melitanikan keburukan lawan. Ada yang sibuk merincikan utang warisan yang harus dibayar, yang lain piawai membeberkan sejumlah program ke depan.
Merk dagang di pasar itu juga bermacam-macam. Seperti junkfood, kemasannya berwarna-warni dan menggoda air liur. Kata-katanya bombastis, membuat tangan gatal merogoh kocek. Tetapi isinya sama: memperjuangkan kepentingan rakyat. Terminologi kepentingan rakyat itulah yang menjadi produk utama di pasar itu.
Ya, hari-hari ini elite politik di enam kabupaten itu naik panggung kampanye menjual progamnya. Setiap elite politik itu jelas berbicara dan berteriak tentang kepentingan rakyat. Dan, itulah keharusan retorika dan kampanye politik. Lepas dari pembuktiannya kelak, haruslah diakui bahwa retorik menjadi demikian penting di atas panggung kampanye. Kemahiran berbicara di atas panggung, memang sangat patut dikuasai para juru kampanye (jurkam). Biasanya dengan sedikit menguasai logika dan bahasa, seorang jurkam sudah dapat merumuskan apa yang ada dalam batok kepalanya. Tetapi, hanya kemampuan retoriklah yang menjadi ujian bagi seseorang, apakah dia layak disebut orator, dan karena itu patut dan mau didengar dan diperhatikan?
Karena fungsinya untuk menarik simpati dan perhatian, maka laras bahasa yang digunakan orator adalah bahasa yang kuat dengan daya persuasi yang tinggi. Dengan pilihan bahasa seperti inilah seorang orator biasanya mampu membuat para pendengarnya lupa akan isi dan bobot omongannya. Bisa dimengerti kalau anak-anak di Desa Rambangaru, Sumba Timur nekat manggung dan bergoyang ria. Kakek dan nenek di Cancar, Manggarai meninggalkan rumah menuju lapangan bola kaki. Para petani di Boru, Flores Timur meninggalkan sawah dan ladangnya lalu bergegas ke lapangan.
Kekuatan retorik tidak terutama pada isi dan kebenaran kata-kata, tetapi justru pada kata-kata itu sendiri. Tetapi supaya kata-kata itu bisa menjadi kuat, maka dia mengandaikan suatu penghayatan dan penguasaan suatu masalah atau pengalaman secara intens. Itulah sebabnya orang bisa membedakan mana jurkam penggembira dan mana jurkam utama, mana orator profesional, mana yang amatir.
Jika puisi adalah keindahan dalam kata-kata, maka retorik adalah kekuatan yang menjelma dalam kata-kata. Puisi tidak menjadi indah karena kata-kata, melainkan kata-kata menjadi indah karena puisi yang dikandungnya. Demikian juga retorik tidak menjadi kuat karena kata-kata, tetapi kata-kata mendapat kekuatannya karena telah ditempah dalam suatu penghayatan retoris. Itulah sebabnya, kata yang sama akan menjadi sangat berbeda daya pengaruhnya ketika diucapkan oleh orang yang berbeda dalam penghayatannya. Daya pengaruh itu sangat tergantung dari apa yang diinjeksi oleh pembicara ke dalamnya.
Karena itulah kekuatan sebuah retorik mengandaikan tiga unsur. Pertama, bobot dan pentingnya pesan yang dikandungnya. Kepentingan isi pesan itu dapat diukur berdasarkan dimensi ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang, sesuatu menjadi penting kalau dia mencakup lebih banyak orang. Dalam dimensi waktu, sesuatu menjadi penting kalau dia berlaku untuk jangka waktu yang semakin panjang. Kita mengerti sekarang kalau pernyataan seperti 'dalam lima tahun kepemimpinan saya, saya akan memberantas KKN yang telah merusak daerah ini' adalah lagu wajib yang selalu dinyanyikan setiap figur yang tampil di panggung kampanye.
Kedua, kecerdasan. Unsur ini akan menjadi sangat kentara manakala para jurkam mengobral kata-katanya. Ada yang demikian sungguh-sungguh ketika mengucapkan suatu soal yang sebetulnya sangat sepele dan sederhana. Sebaliknya, ada juga ucapan yang sangat jenaka tetapi mengandung pesan dan isi yang sangat serius dan penting. Itulah sebabnya di Larantuka, ajakan untuk melakukan penghematan lima tahun mendatang demikian jenaka di mulut calon bupati, Simon Hayon. Sebaliknya, Felix Fernandez begitu lantang berteriak bahwa dirinya tidak terbukti bersalah dalam tuduhan KKN di Flotim. Atau, muku te'a di mulut Yoachim Reo adalah suatu peringatan yang demikian penting, padahal cuma diucapkan di sebuah kampung bernama Kampung Boba dan di hadapan sekitar 200 orang.
Ketiga, kecekatan memilih kata-kata yang 'bertindih tepat' dengan maksud yang hendak disampaikan. Kemampuan ini ibarat bermain piano: meletakkan jari yang benar di tempat yang persis pada waktu yang tepat sehingga menghasilkan bunyi musikal yang indah dan harmonis. Akan kentara di sini mana jurkam yang cerdas memformulasikan maksudnya untuk hal-hal yang sulit sekalipun melalui kata-kata yang sederhana dan mudah ditangkap. Banyak orang keliru karena merasa hebat ketika mampu mengobral kata-kata asing yang sulit di telinga pendengarnya. Hemm... kita tidak tahu, entah sudah berapa banyak kata asing dieja secara salah di panggung kampanye sekarang ini.
Udara NTT saat ini penuh dengan 'gelombang pesan' yang dipancarkan dari atas panggung kampanye. Beruntung, gelombang itu tidak ditangkap pesawat radio. Kalau saja gelombang itu bisa ditangkap, bisa-bisa radio di rumah-rumah 'storing' akibat ditimpuki ramainya gelombang itu. Kepiawaian, ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian mencari posisi menangkap pesan suara di gelombang itu menjadi sangat menentukan. Siapa yang tidak piawai, dia akan termakan isu. Siapa yang tidak teliti, dia akan tergilas rayuan. Dan, siapa yang tidak hati-hati, dia akan menuai sial.
Anda mau termakan isu? Ingin tergilas? Atau, mau sial? Jika tidak mau, ingat petuah ini: Verba docent, exempla trahunt. Kata-kata mengajarkan, contoh menunjukkan. Pilihlah orang yang telah, sedang dan bisa memberikan contoh, bukan yang cuma piawai menebar kata-kata sompong. Jika yang seperti ini juga tidak ada, Anda juga tidak perlu ragu menjatuhkan pilihan. Rumusnya cuma satu: musuh yang pintar akan lebih menolong daripada teman yang bodoh; lawan yang jujur lebih bermanfaat daripada kawan yang culas. Pilih mana? Lawan yang jujur atau kawan yang culas? *
Pos Kupang, Sabtu 18 Juni 2005
Lawan jujur atau kawan culas? (Catatan Pilkada)
Senin, 26 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar