Oleh : Tony Kleden
UNDANG-UNDANG Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara radikal membalikkan paradigma pers, dari "kebebasan pers yang bertanggung jawab" menuju "kemerdekaan pers yang profesional". Tetapi selain aksentuasi pada profesionalisme, UU ini juga mengartikulasikan pendapat khalayak pembaca secara bebas dan apa adanya, tanpa mesti takut. Memang, paradigma lama yang diindoktrinasi penguasa Orde Baru tidak lebih dari suatu retorika mengendalikan pers. Cermati adagium yang hampir dimitoskan "kebebasan yang bertanggung jawab". Pernyataan ini mengandung contradictio in terminis. Karena ketika kita membicarakan kebebasan maka pada dasarnya kebebasan tidak pernah dibicarakan terpisah dari tanggung jawab. Hanya orang bebas yang mampu bertanggung jawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggung jawab, dan sebaliknya tanpa tanggung jawab tidak mungkin menuntut kebebasan.
Melalui paradigma baru sekarang ini, kalangan pers sebetulnya dapat berbuat banyak. Juga masyarakat dapat mengekspresikan kemerdekaannya mengeluarkan pendapat. Dan lebih penting lagi, dengan paradigma baru ini, jika boleh dibilang, pembentukan opini masyarakat menjadi lebih terbuka lebar.
Masalahnya adalah, sejauh mana media massa mampu mengakomodir opini masyarakat itu? In casu, pengamatan terhadap media massa di NTT saat ini menjadi menarik. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang paling penting untuk disimak. Pertama, model sajian berita. Dari berita-berita enam harian dan tiga tabloid mingguan di NTT saat ini, muncul kesan kuat bahwa memang media massa di NTT masih memilih jalan sendiri-sendiri dalam proklamasi kebenarannya. Terhadap satu kasus misalnya, ada media massa yang mengepungnya dari setiap sudut pandang (angle). Sementara media lain sibuk membantah dan terus membantahnya.
Kedua, model pendekatan pemberitaan. Ada media massa yang menganut jurnalisme jihat, disebut juga crusading atau moonracking journalism. Gaya pendekatannya tajam, menyoroti sesuatu masalah secara sepihak dan terus menerus. Efeknya pada masyarakat bisa menimbulkan kejutan-kejutan. Tetapi ada juga yang menerapkan 'filsafat kepiting' dalam pemberitaannya. Sebelum didekati suatu masalah terlebih dahulu diteropong dari banyak sudut kemungkinan, sehingga tidak 'menabrak tembok'. Gaya pendekatannya simpatik, tajam tapi halus, dengan sedapat mungkin menghindari konflik dan ketersinggungan.
Kedua fenomena ini langsung berhubungan secara kuat dengan tampilan ruang opini dalam media (surat kabar). Tulisan ini dengan rendah hati coba meneropong ruang opini dalam media massa umumnya dan di NTT khususnya. Harus ditegaskan dari awal, bahwa sama seperti media massa (cetak) umumnya di Indonesia, ruang atau rubrik opini dalam surat kabar di NTT mendapat tempat cukup terhormat. Rubrik ini dipandang sebagai forum 'seminar terbuka' yang menjadi ajang pertukaran gagasan yang berasal dari masyarakat.
Mengapa mesti ada ruang opini dan mengapa harus menyajikan artikel opini? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan agar dari sana dapat ditelusuri mengapa perlu ada rubrik opini. Pada galibnya ikhtiar yang paling asasi dari setiap media massa adalah mewartakan informasi kepada khalayak umum. Dalam pengejawantahannya ikhtiar ini coba mengambil modus utama yakni menyajikan tulisan dalam bentuk berita (hard news).
Setiap hari peristiwa terjadi, dan setiap hari pula pers menyeleksi dan mengemasnya untuk khalayak. Ada peristiwa yang bersifat einmalig, sekali terjadi dan tak terulang kembali. Ia lebih sebagai sesuatu yang aksiden, kebetulan. Sebaliknya ada peristiwa yang bersifat reguler, yang akan terjadi kembali. Peristiwa-peristiwa itu terjadi karena ada logika-logika tertentu yang menjadi penyebabnya. Peristiwa-peristiwa itu hanya konsekuensi dari satu atau lebih antecedens. Maka ia tak cukup hanya disajikan sebagai hard news. Peristiwa semacam itu membutuhkan penjelasan lebih mendalam, apakah ada logika-logika tertentu menjadi penyebab peristiwa itu?
Daya jangkau sebuah hard news hanya sampai pada mengatakan apa yang terjadi, tetapi tidak menjelaskan dan menerangkan apa sifat dan sebab akibat yang terjadi itu. Ibarat simtom gunung es, kekuatan hard news hanya terletak pada permukaan laut, sedangkan apa yang 'tertidur' di dasar laut tidak dapat dijangkaunya. Demikianlah ada bermacam-macam peristiwa. Ringkasnya ada peristiwa yang "mandek", dan ada peristiwa yang menyimpan sesuatu yang sistemik. Peristiwa yang sistemik ini mengundang sejumlah pertanyaan. Adakah peristiwa itu terjadi karena kelanjutan historis saja? Atau adakah logika-logika lain yang bersifat mendalam?
Rentetan pertanyaan itu tidak mampu dijawab oleh hard news. Karena itu orang tidak dapat dipuaskan dengan sajian jurnalistik dengan pendekatan who did what. Diperlukan latar belakang, di mana unsur why menjadi penting. Dari sini kemudian lahir interpretative reporting, yaitu karya jurnalistik yang berisi interpretasi, sehingga satu peristiwa lebih dipahami konteks dan latar belakangnya. Kredo pada hard news berbunyi "fakta adalah suci", sedangkan kredo pada intrepretative reporting berbunyi "fakta adalah suci, interpretasi adalah halal". Daya tembus hards news dan intepretative reporting adalah apa yang tampak, kasat mata. Sebaliknya apa yang tidak dapat dijangkau oleh keduanya, apa yang berada di dasar laut adalah wilayah yang membutuhkan pendekatan sistemik, melalui teori dan argumen. Dari sini lahirlah opini dalam surat kabar.
Berbeda dengan tulisan dalam text book, artikel opini dalam surat kabar kuat dicirikan oleh ragam bahasanya yang popular, karena pembacanya sangat heterogen. Jika yang dipakai adalah karya ilmiah, tentu akan menjadi sangat kering, tidak menarik, dan akan ditinggalkan pembaca pada kesempatan pertama.
Artikel opini dalam surat kabar adalah tulisan yang ditandai oleh ada-tidaknya surprise. Kekuatannya tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Artikel opini tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Jika filsafat melakukan discourse, kalau ilmu melakukan analisa, maka artikel opini adalah sebuah dialog. Kalau dalam filsafat orang bekerja dengan otaknya, kalau dalam ilmu orang mengolah pengamatannya, maka dalam artikel opini seseorang bercanda dengan imajinasi. Filsafat berusaha mencapai kecanggihan spekulatif, ilmu berjuang menuju kesempurnaan deskriptif dan artikel opini memamerkan ketangkasan ekspresif. Spekulasi mengundang refleksi, deskripsi mengharuskan pengujian, sedangkan ekspresi menggedor impresi. Kalau ilmu dan filsafat berusaha mencapai kematangan orang dewasa, maka artikel opini mempertahankan innocentia masa kanak-kanak.
Ilmu dan filsafat berpedoman pada rasionalitas, sedangkan artikel opini berpedoman pada kebebasan manusia. Ilmu dan filsafat menjadi bagus karena dapat diramalkan, sedangkan artikel opini menjadi indah karena bermain dengan ketakterdugaan. Pada ilmu dan filsafat kebenaran dianggap sempurna, sedangkan para artikel opini kebenaran ibarat seberkas cahaya. Kebenaran ilmu dan filsafat bersifat ontologis, kebenaran artikel opini bersifat soteriologis.
Bagaimana dengan artikel opini dalam surat kabar di NTT? Dari segi kerajinan menulis, tampaknya di kawasan ini tumbuh subur penulis artikel. Menurut data Pos Kupang, setiap hari rata-rata lima penulis mengirim artikelnya. Jika diandaikan semua media massa di NTT rata-rata mendapat empat artikel, berarti rata-rata setiap hari terdapat 20-an penulis mengirim artikelnya. Menurut latar belakangnya, para penulis ini berasal dari hampir semua kalangan. Ada ibu rumah tangga, pelajar SLTA, mahasiswa, guru, pegawai pemerintah. Terbanyak adalah kalangan akademisi.
Yang menarik adalah format dan gaya tulisan. Dari format tulisan, banyak penulis (termasuk dosen perguruan tinggi) membuat tulisan artikel dengan format makalah atau laporan ilmiah. Kendati substansi permasalahannya menarik, tetapi tulisan seperti itu akan ditinggalkan pembaca karena tidak menarik dan kaku. Dari gaya penulisan, masih terlalu banyak yang mengabaikan sifat popularnya. Argumentasi dirumuskan melalui formulasi yang berat dan didukung oleh teori-teori. Bahasanya tidak lugas, tidak lancar dan karena itu tidak hanya membosankan, tetapi juga membebankan. Banyak penulis sepertinya mengira bobot tulisannya akan bertambah kalau terdapat banyak istilah asing ditambah setumpuk teori para ahli.
Dari tujuan penulisan, kebanyakan penulis masih ingin meraih gengsi diri dari tulisannya dan belum cukup pada ikhtiar menanggapi trend yang berkembang dalam ruang publik. Akibatnya, tema tulisan pun jauh panggang dari api, sangat jauh dari trend yang ada. Banyak artikel mengabaikan kontekstualitas, baik terhadap waktu maupun masalah yang berkembang. Akibatnya, tidak banyak tulisan tematis yang bisa ditunggu.
Lepas dari plus minusnya, tampaknya semakin hari semakin terlihat penting ruang opini pada surat kabar di NTT. Memang, selain karena alasan-alasan seperti dikemukakan di atas, dari ruang ini perbedaan pendapat masyarakat, aspirasi dan persoalan masyarakat diberi saluran untuk dinyatakan. Tinggal sekarang bagaimana masing-masing media massa mengelola ruang ini secara lebih profesional.
Pos Kupang, 9 Februari 2001
Opini dalam pers NTT
Senin, 26 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar