ITULAH pertanyaan yang terlintas dalam benak kita setelah membaca berita tentang seminar internasional di Kupang. Seperti diwartakan harian ini kemarin, seminar internasional itu melibatkan tiga negara, Australia, Timor Leste dan Indonesia (Pemerintah Kota Kupang).
Seminar ini mengangkat tiga isu utama, ekonomi, pendidikan dan pariwisata. Tiga tema ini merupakan tema-tema sangat penting dan urgen. Tetapi, yang memberi bobot lebih pada pertanyaan ini adalah harga seminar itu, yang mencapai Rp 200 juta, dan dampak atau hasilnya nanti. Dana sebesar itu merupakan dana yang tidak kecil untuk ukuran Kota Kupang. Dana itu ditanggung bersama oleh Pemerintah Kota Kupang dan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, masing-masing Rp 100 juta.
Pada galibnya kita mendukung rencana menggelar seminar itu. Karena bagaimana pun juga suatu agenda pembangunan, mestilah dimulai dari perencanaan yang matang dengan melihat banyak matra di dalamnya.
Tetapi, seperti kita maklumi dan ketahui bersama, hajatan-hajatan seperti seminar, diskusi, workshop dan semacamnya telah menjadi demikian biasa dan lazim. Hampir setiap hari selalu ada acara seperti ini. Kita sudah menemukan dan mendapat setumpuk rekomendasi, masukan, usul, saran atas banyak hal.
Tidak salah seminar diselenggarakan, diskusi digelar dan workshop dilakukan. Rekomendasi, usul, masukan itu juga penting dalam rangka memberi kita gambaran dan point of reference atas suatu masalah. Tetapi follow up-nya yang belum kita lihat.
Karena itu, kalau sekarang Pemerintah Kota Kupang berencana menggelar seminar bertaraf internasional, mungkin beberapa harapan dapat kita sampaikan di sini. Pertama, janganlah seminar itu cuma pro forma. Kita memandang sangat penting menggarisbawahi hal ini. Mengapa? Karena sebegitu sering selepas sebuah seminar, diskusi atau workshop, setumpuk rekomendasi dan masukan lalu dimasukkan dan mengendap di laci meja.
Jujur kita akui bahwa sangat jarang kita melihat sebuah perubahan terjadi menyusul sebuah seminar atau workshop. Lucunya, hampir saban tahun kita selalu menyaksikan seminar dengan tema yang sama didaur ulang, diselenggarakan lagi. Rekomendasinya juga tetap sama, masukannya ya... itu-itu juga.
Karena itu, harapan kita ialah semoga seminar internasional itu tidak sebatas pro forma, asal ada, asal bunyi, tanpa gema. Gema-gaungnya mesti bisa didengar dan ditangkap. Gemanya itu mengejawantah dalam action plan yang realiable (dapat direalisasikan) dan achievable (dapat dicapai).
Kedua, untuk konteks Kota Kupang, seminar ini harus dapat menaikkan pamor, menegaskan peran strategisnya di 'segitiga emas' di kawasan selatan ini. Menjalin kerja sama dengan Australia bukan hal yang baru lagi buat Pemerintah Kota Kupang. Sejak satu dekade lalu, Pemerintah Kota Kupang sudah merintis kerja sama dengan Pemerintah Palmerstone, Australia Utara.
Banyak dana telah dihabiskan dalam rangka kerja sama ini. Setumpuk action plan telah disepakati. Tetapi, sejauh ini kita belum melihat hasil nyata dari jalinan kerja sama ini. Mengapa ini bisa terjadi?
Tidak ada maksud kita di sini untuk mengritik Pemkot Kupang. Yang hendak kita gariskan di sini adalah bahwa hendaknya kerja sama itu benar-benar direalisasikan sehingga masyarakat kota ini memberi dukungan.
Dari tiga tema yang akan dibahas dalam seminar itu, sektor pariwisata agaknya bisa menjadi ikon hubungan antara Timor Leste dan Australia dengan Kota Kupang. Dengan tidak mengabaikan sektor pendidikan dan ekonomi, rasa-rasanya pariwisatalah yang lebih memberi warna hubungan antarnegara. Gerbang masuk ke suatu negara, saat ini adalah pariwisata. Maskot-maskot banyak negara menampilkan pesona pariwisata.
Jika pariwisata sudah demikian penting perannya menarik orang luar masuk ke suatu negara, maka kita berharap seminar internasional ini harus bisa menjadi momentum yang penting buat Pemkot Kupang merancang action plan, kiat nyata sehingga seminar itu tidak tinggal seminar. *
Pos Kupang, Selasa 28 Februari 2006
Setelah seminar, apa?
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar