SEJAK memasuki era reformasi, kita melihat banyak perubahan dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, lahir begitu banyak produk peraturan yang mencoba mengatur roda pemerintahan menjadi semakin baik.
Kita melihat beberapa produk aturan yang terasa sangat nyata mengatur tentang kehidupan bernegara dan atau berpemerintahan. Sebut misalnya undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang pemerintahan daerah, berikut segala peraturan teknisnya.
Semua produk aturan itu pada galibnya bermuara pada satu tujuan, yakni supaya roda pemerintahan dapat berjalan pada rel yang benar, mengikuti aturan main yang berlaku. Dan, wajah birokrasi tampil elegan.
Yang menarik adalah bagaimana pengejawantahan peraturan itu pada tataran praksisnya. Kita melihat bahwa aneka peraturan itu mengalami banyak bias dalam pengejawantahannya. Salah satu yang sangat kentara dan nyata-nyata terlihat adalah pengaruh dan peran dominan partai politik dalam roda pemerintahan.
Menurut hakikatnya, partai politik itu cumalah anak tangga menuju ke tata pemerintahan yang lebih baik, demokratis dan bermartabat. Dia cuma medium, jalan untuk mengantar sejumlah orang meraih kursi kekuasaan. Idealnya, peran dan pengaruhnya jangan terlalu menonjol dalam roda pemerintahan.
Tetapi, kita melihat dalam prakteknya, peran dominan parpol begitu kentara. Para anggota legislatif dan eksekutif yang datang dari, melalui dan karena parpol nyata-nyata lebih berpaling pada parpol ketimbang pada rakyat. Anggota DPR (D) lebih segan, loyal dan takut pada parpol ketimbang pada konstituennya. Para kepala daerah juga sama. Lebih takut pada parpol yang memberinya tiket meraih kursi kekuasaan, ketimbang pada rakyat yang dilayaninya.
Ada benarnya kalau para anggota Dewan dan pejabat eksekutif loyal dan takut pada parpol. Lepas dari sisi buruknya, parpol telah memberi mereka tiket, menjadi kendaraan bagi mereka ke kursi Dewan dan kursi jabatan. Menyatunya parpol dengan pejabat eksekutif dan Dewan ibarat kuku dan daging. Ada hubungan batin antara mereka dengan parpol.
Di sisi yang lain, kita melihat hubungan batin itu lebih banyak mengakibatkan beban psikologis yang mendera. Hubungan batin itu kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang lebih pro partai ketimbang pro rakyat. Kepentingan-kepentingan parpol kemudian menjadi lebih dominan dalam setiap kebijakan.
Dari sinilah sebetulnya, cikal bakal lahir apa yang disebut sebagai korupsi birokrasi dan korupsi politik. Dan, sisi buruk ini kembali diperingatkan Ketua DPD Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) NTT, Drs. Simon Hayon. Seperti diberitakan harian ini, dalam pidato politiknya ketika membuka Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) PPDI NTT di Kupang, Kamis (30/3) lalu, Simon mengingatkan bahwa membasmi korupsi perlu dimulai dari parpol.
Sebagai seorang politisi kawakan yang telah malang melintang dalam jagad politik di daerah ini dan kemudian menjadi kepala daerah, setidak-tidaknya Simon Hayon punya pengalaman tentang bagaimana kentalnya korupsi politik dan korupsi birokrasi.
Kita mesti memberi apresiasi dan dukungan terhadap pendapatnya ini. Sebab 'warning' Simon ini terasa sangat tepat dan relevan di tengah buruknya citra partai politik di daerah ini. Bukan rahasia lagi buat kita kalau kaderisasi di partai sejauh ini belum memperlihatkan sisi profesionalisme. Rekrutmen pengurus partai juga dilakukan asal-asalan. Tak heran kalau banyak penumpang gelap di tengah jalan yang masuk partai dengan membawa serta perilaku dan watak aslinya yang cenderung tidak elegan untuk terjun di sebuah partai politik.
Ya, kita dukung pendapat Simon Hayon. Jika partai menjadi sarang korupsi, maka dari partailah upaya pembersihan itu dimulai. Jika partai cuma anak tangga menuju terwujudnya wajah birokrasi yang demokratis dan elegan, maka dia janganlah terlalu dominan berperan dalam rancang bangun tubuh birokrasi. *
Pos Kupang, Senin 3 April 2006
Partai politik cuma tangga
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar