KITA bangga dan gembira ketika membaca berita di media ini bahwa Sriwijaya Air membuka rute penerbangan ke Kupang. Bagaimanapun, keputusan ini sangat menggembirakan bagi pelayanan jasa angkutan udara.
Selain angkutan laut, angkutan udara sangat penting dan strategis buat propinsi kepulauan seperti NTT. Sudah sejak era tahun 1970-an kabupaten-kabupaten di NTT membangun lapangan terbang/bandar udara. Ketika itu, masyarakat secara gotong royong membangun lapangan terbang.
Semangat mereka tentu bukan sekadar agar pesawat terbang bisa masuk dan mereka bisa melihat wujud sii 'burung besi' itu. Lebih dari itu, upaya membuka lapangan terbang itu agar akses masyarakat ke luar dan masuk ke daerahnya menjadi lebih cepat, lebih gampang.
Tetapi, setelah era berganti era, dasawarsa berganti dasawarsa, armada penerbangan dan airline yang aktif di NTT, boleh dibilang, belum terlalu menggembirakan. Dari dulu, warga daerah ini lebih akrab dengan Merpati, baik itu yang komersial maupun yang bisnis. Armada swasta, harus diakui, agak resisten dan rentan membuka usahanya secara kontinu. Pelita Air, Bouraq adalah dua contoh airline swasta yang akhirnya angkat kaki dari NTT karena berbagai alasan.
Bukan maksud kita di sini untuk mengritik airline swasta yang senin-kamis masuk NTT. Yang mau kita kemukakan di sini adalah bagaimana sebenarnya perhatian, kepedulian, keberpihakan dan kebijakan pemerintah di daerah ini terhadap transportasi udara?
Harus diakui bahwa sejauh ini 13 lapangan terbang/bandara di NTT terlalu mahal untuk hanya didarati Merpati sekali sepekan, dua kali sepekan. Terlalu banyak keringat warga NTT tahun 1970-an jika semangat mereka membangun lapangan terbang hanya untuk didarati pesawat jenis cassa seminggu sekali dengan harga yang jauh di atas bayangan mereka. Terlalu mahal harga sebuah tiket pesawat untuk mereka yang telah berpeluh itu, jika peluh mereka itu hanya untuk kepentingan segelintir orang berduit dan satu dua pejabat pemerintah.
Nah, inilah keprihatinan yang mestinya ada juga pada benak pemerintah di daerah ini. Manejemen Trans Nusa sudah membuka jalan pikiran kita bahwa pesawat jenis ATR bisa mendarat di landasan pendek jika dibatasi penumpangnya. Yang kurang pada kita, terutama pemerintah, adalah tidak memikirkan untuk mendirikan perusahaan daerah yang bergerak pada transportasi udara.
Kita menangkap kesan bahwa pemerintah di daerah ini hanya sibuk dengan urusannya, tanpa pernah berpikir secara holistik untuk kepentingan umum seluruh masyarakat NTT. Egoisme masing-masing daerah terlihat sangat kentara. Padahal, jika semua pemerintah kabupaten bersatu hati, mengusung semangat yang sama membangun sektor transportasi udara, maka bukan hal yang terlalu mahal dan sulit untuk memiliki armada penerbangan.
Secara matematis, biaya pembangunan rumah jabatan gubernur dan pengembangan gedung DPRD NTT jauh lebih mahal dari harga sebuah pesawat jenis ATR. Mana yang lebih urgen dibutuhkan rakyat NTT saat ini? Pengembangan gedung DPRD NTT yang kelihatan masih juga sangat layak, atau kemudahan dalam akses transportasi udara?
Penting melontarkan ide ini karena belakangan kita sangat merasakan betapa sulit dan tidak pasti melakukan perjalanan dari Kupang menuju Flores. Tiket telah di tangan pun kemungkinan untuk tidak jadi terbang terbuka lebar. Dan, kondisi ini sepertinya dibiarkan begitu saja.
Kekurangan kita adalah membiarkan kondisi itu terus berjalan. Banyak kali kita tidak menyadari bahwa tindakan pembiaran terhadap segala yang kurang, tidak baik, tidak menguntungkan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak baik.
Mudah-mudahan kita tidak cuma bangga meresmikan dan menerima maskot airline yang masuk ke daerah ini. Kapan kita bisa berbangga dan menepuk dada sendiri ketika meresmikan airline milik sendiri? *
Pos Kupang, Kamis 13 April 2006
Jangan hanya terima maskot
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar