HARI Raya Natal, akhirnya datang lagi untuk dirayakan. Seperti telah lazim, banyak persiapan dilakukan menyongsong Natal tahun ini. Tetapi, jika kita kritis dan cermat merenung dan membaca tanda-tanda zaman sepanjang tahun ini, ada begitu banyak peristiwa, kejadian, kasus dan semacamnya yang membuat kita miris merayakan Natal tahun ini.
Di aras nasional, begitu banyak gejolak terjadi. Banjir di sejumlah tempat. Lebih dari seratus kepala daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi dilakukan dengan riak dan dinamikanya. Harga bahan bakar minyak yang melangit dengan dampak ikutannya yang tidak kecil. Aksi kekererasan terus berlangsung.
Di aras lokal, kita juga menyaksikan berbagai kejadian di daerah ini. Kelaparan melanda sejumlah kabupaten. Gizi buruk, gizi kurang terjadi hampir merata sebagai akibat rawan pangan. Demam berdarah dan diare terjadi di mana-mana. Bencana alam juga terjadi di beberapa tempat.
Semua peristiwa itu, aneka kejadian itu, bagaimanapun juga, menegaskan ketidakberdayaan kita di hadapan Sang Empunya hidup. Betapa rapuhnya kita saat banjir datang menerjang. Betapa lemahnya kita ketika sengatan matahari tak mau kompromi dengan tanaman di kebun dan ladang petani.
Nah, di tengah segala macam kejadian dan bencana itu kita merayakan Natal tahun ini. Karena itu, rasanya tepat kalau aneka peristiwa itu kita lihat sebagai koinsidensi yang tepat dengan makna Natal. Artinya, sambil tetap mengingat damai sebagai kandungan maknanya yang telah umum, pesan kesederhanaan, ketakberdayaan, kehinadinaan dapat kita lihat sebagai makna lain dari Natal.
Mungkin terlalu fatalis berpikiran seperti itu. Tetapi, sejarah keselamatan manusia bermula dari kandang hewan yang sederhana. Bayi Yesus tidak lahir di atas tempat tidur beralaskan sprei yang putih bersih dan steril.
Tidak! Allah memilih kesederhanaan untuk menyatakan kemahabesaranNya. Di kandang hewan, dengan disaksikan hewan dan gembala-gembala di padang, dan di tengah malam yang dingin menusuk, Verbum caro est (Sabda menjadi daging).
Bagi orang Kristen, peristiwa Natal bermakna penyelamatan dan karena itu dirayakan spesial. Tetapi bagi setiap bangsa, peristiwa Natal mengajarkan satu kebajikan hakiki, yakni kesederhanaan. Karena itu, kesederhanaan sekali lagi tepat kalau dimaknai sebagai suatu kebajikan. Ya, kesederhanaan dalam banyak hal. Dalam hidup, dalam perilaku, dalam pola tingkah dan dalam sikap hidup.
Allah yang mahabesar, yang kuat kuasa, yang tremendum et fascinosum, memilih cara dan modus manusia yang lemah dan tak berdaya dalam kesederhanaan. Tetapi kesederhanaan itu membawa kepenuhan keselamatan manusia secara paripurna. Karena itu peristiwa Natal semestinya harus mampu membangkitkan kesadaran setiap orang untuk lahir kembali dari sikap, perilaku lama yang penuh kesombongan dan kecongkakan.
Untuk konteks kita di NTT, kesederhanaan terasa sangat tepat dan relevan untuk menjadi suatu kebajikan Natal. Ada banyak alasan, mengapa kesederhanaan harus bisa menjadi kebajikan yang dapat kita pegang.
Pertama, kita merasa bahwa meski sudah memasuki usianya yang 47 tahun, propinsi ini tidak maju-maju. Kita seakan berjalan di tempat. Ekonomi kita tidak maju dan bergeliat. Bantuan langsung tunai (BLT) tanpa sadar telah menjadi dana siluman yang membawa halusinasi buat kita.
Pendidikan kita seret. Sudah tujuh gubernur memimpin derah ini. Tetapi hasil yang kita petik, ya... ketidakberhasilan. Sektor kesehatan kita juga parah. Busung lapar, gizi buruk, kurang gizi, diare, demam berdarah, malaria sudah menjadi merk penyakit daerah ini. Rupanya kita sepakat bahwa kegagalan itu akibat sikap kita, para pemimpin kita yang tidak lagi konsern terhadap rakyat.
Kedua, kita melihat praktek KKN, terutama korupsi, telah begitu menggurita. Banyak pejabat publik sudah kehilangan rasa malu ketika memamerkan inventaris pribadi akibat korupsi. Meski berpenghasilan rendah, tapi bergaya hidup elitis. Usia sudah 47 tahun, tetapi perilaku masih seperti anak-anak. Itulah masalah kita sebenarnya.
Mudah-mudahan raja yang lahir sebagai bayi miskin di kandang hewan mampu membangkitkan kesadaran buat kita untuk belajar tahu diri menjadi lebih sederhana. Selamat Hari Raya Natal. *
Pos Kupang, Sabtu 24 Desember 2005
Kesederhanaan sebagai kebajikan Natal
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar