HARI-HARI ini kita disuguhkan dengan berita, terutama di media ini, tentang dana purna bakti dengan sudut pandangnya masing-masing.
Di Sikka, purna bakti menjadi kasus yang tengah diusut kejaksaan. Sejumlah mantan anggota Dewan dan staf birokrasi telah diperiksa. Di Lembata, kalangan eksekutif dan Dewan tengah berjuang menjustifikasi pemberian dana purna bakti ini. Di Flores Timur, mantan anggota Dewan malu-malu menerima dana bantuan itu, meski dibenarkan oleh aturan yang ditetapkan oleh mereka sendiri.
Di kabupaten lain, ada yang tengah diusut dan dalam proses penyidikan. Yang lain lagi masih diam-diam. Kalau di Lembata dan Flotim, dana purna bakti itu dilegalkan melalui perangkat aturan, yakni peraturan daerah (Perda), maka di Sikka, sebagaimana pengakuan Ketua DPRD Sikka, AM Keupung, pemberian dana purna bakti itu tidak punya dasar hukum. Artinya, DPRD Sikka periode lalu tahu dan penuh sadar bahwa pemberian 'uang sirih pinang' itu tidak beralasan.
Kita sudah terlanjur mengerti bahwa di negara ini, kalangan Dewan datang dari partai politik. Partai politik mengutus mereka, melalui medium pemilihan umum ke lembaga terhormat, parlemen. Ada keyakinan bahwa para anggota Dewan yang terpilih itu mengemban misi menyuarakan suara para konstituennya.
Karena itulah kita mengerti kalau Harold Lasswell merumuskan definisi politik sebagai who gets what, when, and how" (siapa mendapat apa, kapan dan dengan cara seperti apa). Mestinya, dalam konteks praksis politik, para anggota Dewan itu adalah sedikit orang yang memenangkan pemilihan pada waktu yang tepat melalui cara yang juga benar.
Nah, kita menyaksikan sendiri, betapa ideal seperti ini sangat jauh di awang-awang. Harapan akan sebuah praksis politik yang benar adalah harapan yang utopis belaka. Dana purna bakti, keterlibatan anggota Dewan dalam melobi proyek, adalah contoh soal tentang biasnya praksis politik yang diperankan kalangan anggota Dewan kita di daerah ini.
Moralitas dan etika yang dianut kalangan anggota Dewan kita rupanya adalah 'mumpung terpilih, ya... memperkaya dirilah'. Menjustifikasi pemberian dana purna bakti melalui perda yang tanpa public hearing, boleh dibilang, merupakan pengejawantahan moralitas seperti ini.
Publik di daerah ini paham bahwa kalau ada dasar hukumnya, maka dana purna bakti itu sah-sah saja. Tetapi yang disoroti adalah perilaku dan etika politik para wakil rakyat itu. Bukan legal-ilegalnya dana itu.
Di tengah kemiskinan rakyat NTT, kita sulit menerima kalau kalangan Dewan kita sibuk menyusun aturan menjustifikasi opsi 'menggemukkan badan' sendiri. Kita berpandangan bahwa gaji seorang anggota Dewan berikut tunjangan ini dan itu telah lebih dari cukup untuk hidup di NTT.
Nah, dalam konteks ini, kita mendukung dan menaruh harapan aparat penyidik untuk menyelidiki, menyidik dan menuntaskan kasus-kasus dana purna bakti di NTT. Langkah nyata telah dilakukan di Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Sikka. Di Kabupaten Kupang prosesnya sudah sampai di meja hijau. Di Kota Kupang, berkasnya masih seperti bola pimpong. Di Sikka, kejaksaan tengah berkonsentrasi.
Banyak pelajaran sebetulnya yang dapat kita petik dari biasnya praksis politik yang dipertontonkan di daerah ini. Bagaimana mesti mengatasinya? Salah satunya yang paling mungkin adalah membenahi pola, mekanisme dan sistem rekrutmen kader partai di dapur partai.
Bukan berita baru lagi kalau di negara ini korupsi terbesar dilakukan oleh partai politik. Ada pendapat yang menjelaskan bahwa kondisi itu sangat mungkin terjadi karena kalangan anggota partai yang direkrut adalah para pencari kerja yang bertahun-tahun tidak pernah memegang uang dalam jumlah banyak, tidak pernah menikmati fasilitas yang lumayan. Itulah sebabnya ketika mendapat gaji dan tunjangan ini dan itu, mendapat fasilitas lengkap, mereka tergagap-gagap dan bingung menggunakannya.
Ya, partai politiklah yang memegang kuncinya. Harapan kita agar waktu-waktu mendatang partai politik di daerah ini bisa lebih profesional merekrut kader-kadernya. Mudah-mudahan, mereka yang menjadi anggota Dewan, wakil rakyat di daerah ini bukan penumpang gelap yang naik di tengah jalan. *
Pos Kupang, Rabu 11 Januari 2006
Dukung langkah hukum purna bakti
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar