BERITA tentang bom belakangan menjadi booming di tanah air. Media cetak dan elektronik mengalokasikan banyak space untuk berita tentang bom. Banyak sudut pandang dibidik, diulas, ditulis, dibahas dan diwacanakan.
Dari sisi jurnalistik, booming berita itu sah-sah saja dan sekaligus memperlihatkan kelebihan para jurnalis menggemparkan dan 'menceritakan' cerita tentang suatu obyek berita.
Tetapi, ada sisi lain juga yang menarik dari booming bom itu. Di Kupang, Selasa (8/11) lalu, CS, seorang bocah menelepon ke Flobamora Mall menginformasikan bahwa bom akan segera meledak di pusat perbelanjaan itu. Bocah usia enam tahun itu kemudian ditangkap dan diperiksa polisi.
Di Lewoleba, seorang bapak yang pusing kesulitan uang karena anaknya masuk rumah sakit mengancam meledakkan rumah sakit. Bapak yang malang itu kemudian dibekuk dan ditahan polisi. Hari Rabu (16/11) malam, dua orang mahasiswa di Kota Kupang ditangkap dan ditahan karena menulis ancaman bom melalui surat.
Tiga contoh ini mengatakan banyak hal dan membawa banyak pesan buat kita. Kita coba melihat dua yang lebih tangible.
Pertama, dampak buruk dari berita -- utamanya televisi -- kelihatannya sudah overdosis dan kontraproduktif. Pengakuan CS bahwa aksinya itu hanya mau meniru apa yang dilihatnya di televisi membelalakkan mata kita.
Kita sepakat bahwa sajian televisi kita sekarang ini sangat berbahaya buat anak-anak. Setiap siang dan malam hari, ketika anak-anak berada di rumah dan belum tidur, televisi menyajikan berita-berita keras menyangkut pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan tema-tema kekerasan lainnya dengan begitu jelas.
Tak ada yang menyangkal kalau berita-berita ini sangat berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan anak-anak. Ada yang menduga, televisi cenderung seperti itu karena owner-nya adalah para pedagang. Karena itu, sisi bisnis lebih mendominasi.
Selama sisi bisnis masih mendominasi tampilan televisi yang kemudian menomorduakan sisi pendidikan, rasanya tidak ada pilihan lain bagi para orangtua untuk lebih selektif memilih program televisi untuk anak-anak.
Kedua, bom menjadi media paling jitu untuk mengancam orang atau pihak lain. Kasus bapak yang malang di Lewoleba sangat nyata menjelaskan maksud kita di sini.
Kita mengerti dan mungkin juga prihatin dengan kondisi bapak itu. Anaknya harus masuk rumah sakit sementara dia kesulitan uang membiayai pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Rupanya karena depresi, dia memilih mengancam meledakkan rumah sakit.
Lepas dari kesulitan dan depresi yang barangkali menimpanya, juga lepas dari keprihatinan kita, aksi bapak itu harus dikritik. Kita mengerti kesulitannya. Tetapi kita tidak bisa menerima kalau kesulitan itu dilampiaskan melalui cara-cara yang justru menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan buat orang lain.
Kita berpandangan bahwa aksi peledakan bom, juga teror bom, merupakan aksi-aksi yang tidak bisa dibenarkan. Kita kutuk aksi itu, karena begitu banyak korban tewas, begitu banyak orang kehilangan pekerjaan. Banyak pelayanan umum menjadi terganggu karena bom. Kita juga kurang sepakat kalau ada yang iseng-iseng menebar bom.
Ya, bom menjadi media yang lagi booming untuk menebar teror, iseng sekalipun. Bom telah menjadi booming di tanah air. Hampir saban hari kita menyaksikan teror bom di televisi, kita membacanya di surat kabar, kita mendengarnya di radio. Konyolnya, booming bom itu juga kita 'manfaatkan' untuk kepentingan sesat dan kontraproduktif.
Karena itu kita harapkan agar semua kita tidak latah menebar teror lewat media apa saja. Entah itu surat, telepon, SMS dan media lainnya. Sebab dampaknya sungguh sangat meresahkan semua pihak, mengganggu ketenangan dan kenyamanan kita semua.
Penderitaan kita saat ini, terutama menyusul kenaikan harga BBM semakin berat. Banyak orang tidak tahan menghadapi penderitaan itu dan memilih bunuh diri. Janganlah kita, meski iseng sekalipun menambah berat beban derita dan kuk yang ada pada pundak kita itu lagi dengan menebar isu bohong dan menyesatkan. Orangtua kita harapkan juga agar lebih dewasa mendidik anak-anaknya, sehingga tidak terulang lagi insiden si bocah CS. *
Pos Kupang 19 November 2005
Jangan 'booming'-kan bom
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar