MENURUT data, sebanyak 68.710 pelamar di NTT mengadu nasib mengikuti test calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD), Sabtu (11/2). Angka ini lebih banyak dari tahun lalu. Dan, dari tahun ke tahun, peserta test CPNSD cenderung meningkat.
Fenomena penerimaan CPNS di daerah ini memang selalu menarik untuk disimak. Pertama, pelaksanaan waktu test yang serentak menutup peluang peserta untuk 'bermain' di banyak tempat. Dulu, ketika ujian tidak dilakukan secara serempak, para peserta bisa mengikuti ujian di sejumlah daerah. Tidak lulus di satu daerah, pindah ke daerah lain. Tetapi sistem baru seperti sekarang ini menutup pintu bagi peserta yang suka berpetualang. Modus seperti ini juga akan semakin memberi peluang buat 'putera daerah'.
Kedua, meningkatnya angka peserta dari tahun ke tahun semakin menegaskan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di daerah ini masih menjadi primadona. Boleh dibilang, sektor inilah yang menggerakkan roda perekonomian daerah ini. Sangat kentara di kota-kota kabupaten, dinamika dalam kota lebih banyak dilakoni para PNS. Angkutan kota penuh dengan PNS. Pengunjung pasar lebih banyak PNS. Pendek kata, PNS masih menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan. Jadilah, kota-kota di NTT adalah kota PNS.
Tetapi dua fenomena ini sekaligus juga membuka banyak perspektif dan sudut pandangan. Salah satu yang hendak kita sentil di sini adalah lemahnya usaha ekonomi skala kecil yang bisa menggerakkan roda ekonomi secara umum. Propinsi ini sudah 57 tahun usianya. Tetapi sepanjang usia itu, nasibnya tidak tentu.
Padahal, dari tahun ke tahun, tidak sedikit dana mengalir ke daerah ini. Di mana gerangan muara semua dana itu? Apakah yang salah sehingga sulit sekali ekonomi kita bergerak? Potensi kita punya. Ternak sapi, pernah menjadi primadona. Belakangan tenggelam dan diambilalih propinsi lain. Hasil laut kita punya. Tetapi lebih banyak dicuri. Hasil pertanian kita melimpah. Tetapi lebih banyak dinikmati propinsi lain. Pisang dari Flores kembali lagi ke Flores dalam bentuk kerupuk setelah diolah di Bali. Kita juga punya banyak potensi pariwisata. Tetapi mengapa wisatawan enggan ke sini?
Sementara itu tiap bulan, tiap tahun anggaran, eksekutif dan legislatif kita tak pernah alpa menganggarkan studi banding di tempat lain. Hasilnya apa?
Inilah beberapa variabel yang menjadi penyebab mengapa PNS masih menjadi sektor yang sangat menjanjikan. PNS jauh lebih menjanjikan karena memberi kepastian akan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, masuk akal kalau musim penerimaan CPNS adalah 'musim semi' yang paling dinanti-nantikan oleh pencari kerja.
Tetapi, pertanyaan besar sekarang adalah, sampai kapankah PNS menjadi primadona? Di Propinsi Kalimantan Timur, dari formasi yang disiapkan untuk CPNSD, yang melamar tidak sampai 50 persen. Sudah pasti, pencari kerja di sana tidak mau bertarung merebut status pegawai negeri, bukan karena pegawai negeri itu jelek. Sebaliknya, bagi mereka PNS kalah pamor dan kurang menjanjikan dibandingkan dengan profesi swasta. Dan, itu hanya mungkin terjadi kalau sektor iklim ekonomi riil, seperti usaha kecil dan menengah bergerak dengan semangat dan didukung oleh iklim usaha yang kondusif.
Kita sepakat bahwa pandangan terhadap dan memposisikan PNS sebagai sektor primadona harus segera ditinggalkan. Pemerintah, kita harapkan lebih giat lagi mendesain program di sektor ekonomi kecil. Tiap tahun ada dana PER (pemberdayaan ekonomi rakyat) bernilai miliaran rupiah. Dana ini ada di setiap kabupaten.
Mestinya dana ini bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak usaha kecil menengah di setiap daerah. Pola-pola lama dalam penyaluran dana ini yang sarat kepentingan dan KKN hendaknya ditinggalkan. Sistem perizinan usaha yang berbelit dan selalu dikeluhkan, juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Inilah beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga ke depan, PNS tidak lagi menjadi primadona. Sektor swasta seharusnya bisa bangkit dan menggeser arti penting PNS di daerah ini. *
Pos Kupang, 13 Februari 2006
Sampai kapan PNS jadi primadona?
Kamis, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar