Oleh : Tony Kleden
SEPERTINYA tidak ada satu idiom pun yang demikian mendominasi pembicaraan dan lantas menyita perhatian kita sekarang ini selain pertarungan merebut kekuasaan di lembaga legislatif. Baik DPR RI, DPRD sejumlah propinsi maupun DPRD kabupaten di NTT, semuanya mempertontonkan drama persaingan merebut kursi kekuasaan.
Setelah bertarung merebut kursi ketua, kursi panas yang sekarang menjadi rebutan adalah ketua komisi-ketua komisi. Kita mengira pemilu legislatif dengan sistem 'setengah telanjang' dapat menghasilkan anggota Dewan yang kurang lebih mencerminkan harapan rakyat. Perkiraan kita jauh meleset. Wakil rakyat kita masih merupakan wakil rakyat pilihan partai, bukan pilihan rakyat. Di DPR RI hanya dua wakil rakyat yang murni pilihan rakyat, karena memenuhi bilangan pembagi. Di DPRD NTT, cuma seorang -- sekali lagi cuma seorang -- anggota Dewan pilihan rakyat.
Dengan kondisi itu sebetulnya kita, rakyat yang memberi mandat kepada sejumlah orang untuk duduk di lembaga legislatif itu punya alasan yang cukup untuk mengatakan kepada para wakil kita untuk tahu diri, tidak takabur, tidak tepuk dada. Tetapi itu terlalu jauh untuk kita katakan kepada mereka. Sebaliknya yang hendak kita ingatkan buat mereka adalah jangan mempertontonkan dagelan politik dengan semangat merebut kekuasan di lembaga legislatif.
Kita juga mengira pemilu presiden secara langsung mampu menghembuskan angin perubahan sebagaimana dicanangkan presiden terpilih, duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Mohammad Jusuf Kalla. Lagi-lagi, perkiraan kita meleset. Soalnya, semangat merebut kekuasaan di kursi legislatif di DPR RI masih demikian mengental. Karena itu, rasa-rasanya reformasi, perubahan dan ideal in optima forma yang hendak dituju masih terlalu jauh.
Semangat merebut kekuasaan! Itulah kata sakti hari-hari ini. Semangat ini juga terlihat demikian merasuk partai-partai tertentu untuk kembali menyatakan jati dirinya, memproklamirkan keberadaannya di tengah publik. Tak terkecuali di NTT. Semangat ini jugalah sangat yang mewarnai dan mengiringi rapat-rapat pembahasan tata tertib pemilihan pimpinan DPRD NTT hingga rapat pemilihan yang digelar Rabu (27/10) lalu. Sebagaimana kita ikuti bersama, terbentuk dua kubu di DPRD NTT. Yang satu terdiri dari 18 anggota yang tergabung dalam Fraksi Gabungan NTT Bersatu. Yang lainnya 37 anggota terdiri dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDIP plus empat anggota dari Partai Damai Sejahtera yang bergabung dengan PDIP.
Dari hari ke hari, dari rapat ke rapat, kita saksikan tidak pernah ada kesepakatan di antara dua kutub ini. Masing-masing kubu menyanyikan argumennya. Tampak berisi, harmonis, kritis dan bermakna. 'Lagu perseteruan' itu mengambil nada dasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2004. Yang satu menafsirkan PP itu lurus-lurus, tanpa kreasi sehingga melahirkan satu inti pesan: hanya fraksi murni yang boleh mengajukan calon pimpinan. Yang lainnya, penuh kreasi dan warna menafsirkan lebih jauh PP itu, sehingga melahirkan peluang bagi partai-partai kecil di Dewan mengajukan calonnya. Boleh dibilang, puncak pertarungan itu terjadi pada rapat pleno (sebetulnya tidak 'pleno', penuh; karena sebanyak 18 anggota tidak hadir. Karena itu lebih tepat disebut 'quasi pleno') pemilihan pimpinan, Rabu (27/10) itu.
Fraksi Partai Golkar sudah mengumbar senyum karena memenangkan pertarungan. Itu ekspresi kemenangan mereka. Fraksi PDIP juga telah lapang dada menerima kekalahan. Itu pengejawantahan sportivitas menerima kekalahan. Sementara Fraksi Gabungan NTT Bersatu masih menolak hasil pemilihan itu. Itu juga hak mereka. Tetapi, yang tidak terlihat dari kalangan wakil rakyat kita itu adalah sensitivitas untuk memihak kepentingan rakyat NTT. Sensitivitas pro rakyat itu demikian kurang dan lemah. Kurang karena yang dipertontonkan adalah semangat merebut kursi ketua. Lemah karena yang ada dalam benak mereka cumalah kursi kekuasaan. Ya, kursi dan kekuasaan. Merebut kursi untuk merajai. Merajai dari atas kursi.
Maka sekitar dua juta rakyat NTT yang mendelegir separuh 'hak politiknya' kepada 55 orang itu menyaksikan sebuah dagelan dengan aktor-aktor para pemburu. Argumen yang dikemukakan membenarkan proses pemilihan itu juga memang tampak rasional. Alasan seperti "pemilihan harus dilaksanakan karena sudah terlalu lama", "pemilihan itu sudah final sehingga harus diterima" memang masuk akal. Tetapi sebetulnya dia cumalah language game, permainan bahasa, yang dapat mengambangkan, menyembunyikan atau mendistorsikan suatu proses yang fair, adil dan demi kepentingan yang lebih besar.
Mudah dipahami kalau kemudian Pius Rengka, salah seorang anggota Dewan, mengatakan, apa yang terjadi pada Rabu lalu tidak lain adalah proses pembodohan politik. Proses itu, katanya, menjadi mungkin karena didukung oleh 'suporter dungu' yang menghendaki seorang pejuang politik 'berbasis lapar' dan bukan 'berbasis ideologis'. Suatu terminologi yang terdengar sangat kasar.
Tetapi itulah fenomenanya.
Fenomena itu merupakan eksternalisasi suatu alam pemikiran yang sangat pragmatis yang tengah melanda para wakil rakyat kita di Gedung DPRD NTT, yakni alam pemikiran yang final logic, yang lebih memusatkan perhatian pada target ketimbang proses. Didominasi mentalitas seperti itu, seluruh usaha akan dikerahkan untuk mengejar target tanpa peduli, apalagi menunjung suatu rule of game yang fair, santun dan mungkin juga beradab.
Alam pemikiran yang final logic merupakan anak kandung pragmatisme yang mewarnai mentalitas dan cara berpikir kebanyakan wakil rakyat kita di gedung Dewan. Lepas dari hakikat dirinya yang sebenarnya juga positif, mentalitas pragmatisme yang telah tereduksi oleh pencapaian target yang sifatnya segera itu, menampilkan pemiskinan politik dalam tiga bentuk. Pertama, dengan menafikan perdebatan ideologis, diskusi tentang nilai-nilai dan perdebatan tentang prioritas. Kedua, pemiskinan politik itu terjadi ketika ruang publik direduksi menjadi manejemen kepentingan kelompok yang sempit. Yang dibela di sini adalah kepentingan pribadi untuk mendapatkan pengakuan. Ketiga, pembodohan itu menyata dalam lingkup etika politik. Ketika diskusi dinafikan, ketika perdebatan ideologis ditabukan dan ketika diskriminasi diperlihatkan, ketika itu juga terjadi pelecehan terhadap kebebasan dan pengingkaran etika politik. Tiga corak proses pemiskinan politik ini sangat tangible di DPRD NTT.
Duet SBY-MJK telah memulai sesuatu yang baru sebagai pelajaran demokrasi di negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India ini. Ya, kita memang sudah mulai meniti sistem demokrasi yang sebenarnya. Hanya agaknya, demokrasi yang kita terapkan itu baru sebatas pada hardware-nya, sementara software-nya masih terlalu jauh. Sistemnya sudah demokrasi, tetapi perilakunya belum demokratis.
Entahlah, sampai kapan para wakil kita akan terus berkutat dalam perilaku seperti ini? Rakyat daerah ini telah memilih 55 orang wakilnya bukan untuk memburu kursi kekuasaan. Mudah-mudahan, demokrasi di daerah ini tidak tumbuh dalam 'horror mundi' dengan dalang para pemburu kekuasaan yang menampilkan perilaku despotik.
Pos Kupang 31 Oktober 2004
Apa yang diburu di DPRD NTT?
Senin, 21 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar