---- Catatan Pilkada Tony Kleden ---
SAMA Saudara/i, warga Kota Kupang yang terhormat. Saya ingin titip pesan sambil mengingatkan apabila ada calon wakot-wawakot yang ingin membeli suara anda pakai uang, maka terimalah dengan senang hati karena uang itu adalah hasil korupsi, tetapi pada saat pemilihan jangan pilih (tusuk) gambarnya. Bila perlu kerok uangnya sampai ludes. Inga! inga!
Begitu barisan kata-kata yang masuk ke handphone saya 7 Maret 2007 lalu. Nomor itu asing di handphone saya. Mungkin Anda juga ketiban pesan yang sama dari nomor yang sama atau juga berbeda dengan saya. Seperti gelombang radio, pada saatnya nanti layanan pesan itu akan berseliweran mencari nomor-nomor handphone.
Mengapa mesti menggunakan kata-kata? Jawabannya karena kata punya kekuatan. Ya, kata punya kekuatan luar biasa. Yesus meraih simpati karena kata-kata bijak setiap kali mengajar. Soekarno menyihir massa karena pilihan kata-kata yang mengalir lancar dari mulutnya. Konon, sekali lagi konon, duet SBY-MJK memenangkan pilpres karena kata-kata arif, cermat dan terpilih yang keluar dari mulut SBY.
Bila dikemas dengan baik dan rada provokatif, maka kata-kata akan sangat berdampak. Simak iklan-iklan di koran, TV, radio, reklame-reklame di pinggir jalan. Daya sihirnya luuaaaarrrr biasa......
Kecap ABC diburu ibu-ibu di pasar. Rexona adalah parfumnya kaum parlente. Yamaha jadi incaran anak-anak muda. Gudang Garam, rokoknya kaum pemberani. Surya, ini baru pro! Dan lain-lain, dan lain-lain. Itu karena kekuatan kata-kata.
Ada sebuah disiplin ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari struktur dalam bahasa guna mengetahui struktur-struktur pemikiran manusia. Disiplin ilmu itu disebut strukturalisme. Strukturalisme mengambil titik mulainya dalam sebuah naskah berbentuk mapan sebagai 'tenunan baka' dari jalinan macam-macam anasir.
Kaum strukturalis membedakan tiga undak/jaringan arti. Pertama, struktur logis dan sadar yang terkandung dalam setiap hasil karya seni. Kedua, struktur-struktur kultural, yakni bahwa jika suatu pernyataan itu sungguh berarti, maka setiap term (kata, idiom, istilah) harus dipahami dalam konteks kultur dan sejarah partikular. Ketiga, struktur-struktur lebih mendalam, yang tidak bergantung pada latar belakang kultural, tetapi umum bagi semua umat manusia karena mereka merefleksikan struktur pemikiran manusia itu sendiri.
Nah, dalam konteks ini kita kemudian menemukan dan coba menafsir makna di balik nama-nama paket bakal calon Walikota-Wakil Walikota Kupang yang diplesetkan menjadi Alfa (Al Foenay-Ande Agas), Jeriko-Jodea (Jefri Riwu Kore-Johannes Dae), Jonex (Jonas Salean-Alex Ena), Jibel (Djidon de Haan-Anton Bele), Duo-Dan (Dan Adoe-Dan Hurek), Guyan (Guido Fubertus-Yan Mboeik). Alfa, Jeriko-Jodea, Jonex, Jibel, Duo Dan dan Guyan. He.... hee.... hitung-hitung ada tambahan perbendaharaan kosa kata.
Meski tampak dan kedengaran 'gaul', tetapi sesungguhnya 'istilah-istilah' baru ini bukan sekadar gaul. Dia lebih dari sekadar istilah, idiom, atau kata kosong. Sudah pasti para anggota tim sukses dengan penuh kesadaran mencari rangkaian huruf-huruf untuk menciptakan suatu kata yang merepresentasikan paket yang dijagokan. Kata itu harus berdampak atau memberi pengaruh. Dan, dampaknya pada ingatan kolektif warga Kota Kupang. Ingatan kolektif terhadap nama-nama itulah yang menjadi harapan yang coba didapat dari istilah itu.
Demikianlah, Alfa mau mengingatkan orang akan suatu kemahakuasaan, yang bermula dari awal sejarah. Sebagai huruf pertama dalam abjad Yunani, Alfa diharapkan tampil pertama dan terdepan dalam konteks Pilkada Kota Kupang. Dengan nama ini, Al Foenay dan Ande Agas mau menegaskan, kamilah orang pertama.
Jeriko-Jodea mengajak orang mengenang tapak tilas Yesus dalam masa hidupnya di Palestina. Dengan nama ini, orang akan diingatkan akan perjalanan panjang Jefri Riwu Kore dan Johannes Dae menuju kota harapan, yakni Kota Kupang. Di kota harapan itulah keduanya coba merancang perubahan seturut visi misinya nanti.
Jonex. Dari bunyinya sama dengan merk raket nomor wahid yang dipegang para atlet bulutangkis dan tenis. Jonas Salean dan Alex Ena adalah dua terbaik yang menjadi merk Partai Golkar untuk diusung ke dan bersaing di tengah arena. Sebagai merk terbaik, Jonex menggedor kesadaran dan minat warga untuk memakainya. Itu karena mereka adalah the best.
Jibel? Jika huruf 'l' di akhir kata ini diganti dengan 's', maka dia menjadi jibes alias jiwa besar. Anda tahu khan orang yang berjiwa besar? Tidak aneh-aneh, tidak childish (kekanak-kanakan), tidak neko-neko, tidak macam-macam, elegan dan simpatik. Nah, Djidon de Haan dan Anton Bele, diharapkan menunjukkan kebajikan-kebajikan ini. Dengan moto memimpin dengan hati, duet ini ingin tampil apa adanya, jauh dari hingar bingar dan hura-hura. Keduanya berjiwa besar mengubah kota ini sehingga tampil elegan dan beradab.
Duo-Dan? Dua raga dalam satu pribadi. Wou... dahsyat nian tenaganya. Buktinya? Meski terombang-ambing dalam ketidakpastian, paket ini akhirnya menemukan perahu untuk berlayar di lautan pilkada. Sudah dapat perahu, jalannya pun masih oleng-kemoleng diterpa badai perseteruan di partai pengusung. Toh, perahu itu pun lolos hingga didaftarkan di KPUD pada hari terakhir.
Guyan. Kata apakah itu? Jika boleh 'mereproduksi' lagi, kata ini bisa menjadi guyon. Nah, Guido Fulbertus dan Yan Mboeik tentu tidak sekadar guyon ketika memutuskan untuk maju dalam pilkada. Pasti keduanya serius. Dengan mau maju, pasangan ini ingin memberitahu kepada seluruh warga Kota Kupang untuk jangan terlalu serius menghadapi hidup ini. Di sebuah kota yang gersang nan tandus ini, warganya juga perlu menghabiskan waktu untuk bermain, tertawa, bercengkrama, bersenang-senang. Keduanya mau mengajak warga Kota Kupang jangan cuma menyadari diri sebagai homo faber, yang cuma bersibuk diri dengan bekerja dan bekerja. Warganya perlu disadarkan bahwa mereka adalah homo ludens, yang tidak lupa bermain; atau juga homo ridens yang doyan tertawa mengunjuk gigi, bukan cuma tahu memamerkan otot.
Alfa, Jeriko-Jodea, Jonex, Jibel, Duo-Dan dan Guyan. Sejak Kamis, 14 Maret tengah malam, 'nama-nama' ini resmi didaftar di KPUD Kota Kupang. 'Nama-nama' ini dikemas tim suksesnya biar 'layak jual'. Semua 'nama' itu merepresentasikan watak, menunjukkan orang dan mengidealkan harapan di baliknya. Benarlah, nomen est omen. Nama menunjukkan orangnya. Anda lebih dekat ke siapa? *
Pos Kupang, Sabtu 17 Maret 2007
Nomen est omen
Senin, 21 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar