In nomine?

Senin, 21 Januari 2008

Oleh : Tony Kleden

SEJAK dari dulu sudah diterima bahwa politik itu adalah "the art of the possible" (seni kemungkinan). Juga telah dimaklumi bahwa dalam politik "there is no permanent enemy nor permanent friend, only permanent self-interest" (tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan diri).
Karena itulah politik lebih kerap menampilkan wajahnya yang angkuh, pongah. Lawan-lawan disingkirkan. Sobat kental berbagi arah di persimpangan jalan pilihan. Kebenaran, kejujuran dan keadilan mudah ditinggalkan. Diktum klasik yang tetap dianggap sah adalah kalah atau menang, bukan sebaliknya salah atau benar. Ya, politik cuma mewariskan satu hal yang pasti: lawan dan kawan. Banyak orang yang mati muda karena stres dalam politik. Tak ayal ada yang suka bergurau bahwa politikus itu artinya "banyak tikus".
Entah untuk kepentingan yang mana, benar atau salah, kalah atau menang, banyak atau sedikit tikus, yang jelas hari ini 55 anggota DPRD NTT menjatuhkan pilihannya dalam ajang yang, konon, sangat menentukan. Konon, karena merujuk pada fakta bahwa yang paling berkepentingan dengan urusan dua orang jadi kepala daerah di sini, cuma segelintir warga. Paling banyak dari segelintir warga itu adalah para pegawai negeri, para anggota partai. Mafhum saja, di tengah geliat ekonomi yang lesuh karena dunia usaha mati suri, PNS menjadi elemen warga yang paling berpengaruh dan sekaligus memberi ciri propinsi ini.
Karena itu bagi sesama warga yang memilih jalan hidup di garis ini, siapa gubernur akan sangat menentukan suratan karirnya. Ini juga menjadi wajar. Kewajaran itu lantaran sejauh ini birokrasi kita adalah birokrasi yang mempertuanagungkan penguasa. Maka ditarik secara lurus, siapa yang menjadi gubernur, menjadi bupati, atau walikota, maka dialah orang yang sangat menentukan jenjang karir dan kursi seorang PNS.
Dalam konteks seperti ini, berbahagialah kami, warga yang memilih jalan lain dalam titian hidup dan pekerjaan dengan bergerak di sektor swasta. Jika berpikir secara gampang, elemen warga ini akan mempersetankan apa yang terjadi hari ini di Gedung DPRD NTT. Toh, siapa gubernur yang terpilih tidak mengganggu lahan pekerjaan, tidak menambah tunjangan.
Tetapi, saya kira, cara berpikir gampangan ini terlalu naif dan cenderung memperlihatkan apatisme yang berlebihan. Siapa Gubernur NTT, seharusnya menjadi perhatian bersama, menjadi kepedulian semua warga NTT. Tentu bukan supaya kelak orang tidak menyesal dengan misalnya mengatakan, "Saya memang dilahirkan di tempat yang salah", tetapi dan terutama supaya ungkapan penyesalan yang seolah telah tertanam dalam alam bawah sadar secara permanen itu, dapat 'naik' ke alam sadar untuk kemudian dihadapi secara gentle.
Dan, karena itu, adalah sungguh penting bagi setiap warga NTT untuk menaruh harapan akan hasil yang dituai di kebun besar, yang jika kita sepakat, bernama suksesi kepemimpinan itu. Pemilihan gubernur, karena itu, boleh dibilang merupakan panen bersama yang sangat penting dan berarti untuk diabaikan begitu saja. Yang akan sangat menentukan hasil panenan itu adalah para pekerja di kebun itu (baca: anggota DPRD NTT). Jika bekerja dengan sepenuh hati, yang dituai adalah maslahat-nya. Sebaliknya jika dengan hati setengah, atau malah tidak dengan hati, terang saja mudarat-nya yang bakal dituai.
Sudah tujuh nama yang mencatatkan diri menjadi Gubernur NTT. Masing-masing tampil dengan kekurangan dan keberhasilannya. Ada yang sangat merakyat dan kemudian mewariskan program yang merakyat sehingga sangat dikenal dan layak dikenang. El Tari dengan programnya "Tanam, tanam, sekali lagi tanam". Ben Mboy tampil dengan Operasi Nusa Hijau-nya. Hendrik Fernandez dikenang karena Gerakan Membangun Desa (Gerbades). Musakabe nyaris identik dengan GOR Flobamora, Aula El Tari dan Arena Promosi Fatululi. Ya, nama-nama ini akan terus dikenang oleh anak cucu. Nama-nama itu menunjuk sesuatu yang langsung dikenang. Dan, bukan mustahil nama-nama itu kelak akan menjadi legenda di daerah ini. Maka, mereka yang pernah menjadi gubernur di daerah ini paling tahu, legenda macam mana yang telah mereka kenangkan buat anak cucu mereka.
Hiruk pikuknya berita koran di Kupang, membuat setiap orang pangling, bingung mendapat sedikit gambaran di balik tirai peta kekuatan masing-masing kubu. Soalnya masing-masing kubu tampil penuh percaya diri, thus mengklaim diri telah mengantongi sekian suara, sekian banyak suara. Tidak cuma menegangkan, suksesi kali ini juga sedikit menggelikan. Sangat berbeda dengan kali-kali sebelumnya. Barangkali karena pertama di era reformasi sehingga semua komponen warga tampil (atau ditampilkan?) menyatakan dukungannya dalam apa yang disebut sebagai aspirasi.
Tetapi, dari hiruk pikuk berita koran, ada suatu kesan yang sangat menguat, yakni bahwa ke-55 orang anggota DPRD NTT saat ini (apalagi hari ini) adalah orang-orang yang sangat mahal 'nilai jualnya'. Menurut sebuah harian, ada paket calon gubernur yang rela membayar Rp 350 juta plus sebuah mobil untuk satu suara anggota Dewan. Menurut harian lain, sejumlah anggota Dewan terhormat jauh-jauh hari telah diiming-iming segepok rupiah. Ya, roh uang memang sangat menghantui nurani siapa saja. Semua kita sudah tentu berharap, semoga uang menjauh dari Gedung DPRD NTT dan dari rekening pribadi anggota Dewan.
Politik uang (money politics) dalam sejarah pergantian kepemimpinan di negeri ini, lebih banyak diwarnai dengan kegagalan. Sejumlah kepala daerah di sejumlah tempat, urung dilantik (meski telah terpilih) karena politik uang. Para pialang yang bertaruh di ajang ini sungguh piawai memainkan kiat merangkul peminat. Kasat mata tidak terlihat. Seperti kentut, tidak terlihat tetapi tercium baunya. Di dalam koridor hukum, politik uang dilarang keras. Tetapi di luar hukum, siapa takut?
Tentang para calon, visi dan misi telah dipaparkan. Masing-masing tampil dengan programnya. Seperti di pasar malam, masing-masing tampil dengan propagandanya, menjual programnya di hadapan anggota Dewan. Ada yang tampil elegan dengan program dan visi dan misi yang hebat-hebat. Yang lain tampil santai dengan program yang tak menggigit. (Mungkin karena mumet, lelah atau bosan sehingga tidak cakap lagi menangkap sesuatu yang lain untuk kemudian merumuskan program yang baru secara substansial). Ada yang bahkan tampil tanpa beban dalam waktu tiga menit untuk memaparkan apa yang dibuatnya lima tahun ke depan bagi tiga juta lebih warga NTT jika terpilih menjadi gubernur.
Sayang, demokrasi memang lebih sering memperlihatkan dinamika dengan logika terbalik. Pemaparan visi dan misi tidak cuma sekadar sebuah ajang yang pro forma, tetapi juga semakin melegalkan apa yang selalu salah di negeri ini, yakni kesimpulan mendahului premis. Demikianlah, para calon jauh-jauh hari telah ditentukan. Aspirasi kemudian digalang untuk mendukung calon itu. Dan, visi dan misi mengikuti dari belakang. Maka ajang suksesi, harus juga diterima sebagai "jalan yang benar untuk mendapat pemimpin yang salah."
Tetapi, lagi-lagi dengan merujuk pada sejarah, pemimpin yang tampil ke kursi dengan cara seperti ini, lebih sering dilupakan orang ketika dia turun. Seperti monster yang ganas, pemimpin seperti ini bisa memakan anaknya sendiri. Sindrom yang oleh Erich Froom disebut sebagai the pathology of normalcy, yakni penyakit yang tidak lagi disadari sebagai penyakit karena sudah jadi bagian diri yang wajar, sering menyerang pemimpin seperti ini.
Kita tentu berharap, semoga gubernur yang dipilih 55 wakil kita hari ini bukan gubernur yang mengidap kuman ini. Para pengusungnya telah lama menyatakan bahwa para calonnya adalah negarawan. Masing-masing kandidat sendiri yang paling tahu dan mengerti, entah dia adalah seorang negawaran atau politikus. Kita cuma berharap semoga mereka mampu membedakan bahwa "a politician is a statesmen who places the nation at his service. A statesmen is a politician who places himself at the service of the nation."
Gubernur kita kali ini, seorang negarawan atau politikus? Pertanyaan ini hari ini akan dijawab oleh 55 anggota DPRD NTT. Mudah-mudahan ketika menentukan suaranya, para wakil itu menjatuhkan pilihannya "in nomine populi" (atas nama rakyat) dan bukan "in nomine pecuniae" (atas nama uang).

Pos Kupang, 19 Juni 2003

0 komentar:

Posting Komentar