Oleh : Tony Kleden*
TANGGAL 17 Agustus 1945 duet Soekarno-Hatta memaklumkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi jauh sebelum itu, yakni pada tanggal 20 Mei 1908 Budi Utomo menyanyikan kredo tentang persatuan Indonesia. Kredo itu memulai era kebangkitan nasional. Jika kemerdekaan oleh Soekarno diibaratkan sebagai pintu gerbang yang memberi kemungkinan seluas-luasnya untuk mewujudkan suatu masyarakat baru yang lebih adil dan sejahtera, maka kebangkitan nasional merupakan titik awal menuju pintu gerbang itu.
Enam puluh tahun lebih sudah pintu gerbang itu terbuka. Tetapi kemungkinan yang terbentang luas itu masih diselimuti kegelapan. Era berganti era. Sosok pemimpin berubah wajah. Tetapi ideal yang dituju masih jauh dari jangkauan. Yang dituai bukan kesatuan dan persatuan warga bangsa yang berlimpah kekayaan alamnya, tetapi sentimen suku, agama, ras dan antargolongan yang kian mengental. Kerusuhan demi kerusuhan berlatar SARA berlangsung dan terus berlangsung dengan ekskalasi yang mencengangkan. Primordialisme mengkerangkeng pluralisme dalam gheto pemahaman yang sempit dan paradigma berpikir yang picik. Di tengah kemelut seperti itu, mampukah nasionalisme dan pluralisme bisa menjadi roh yang mempersatukan dan modal yang kuat membangun bangsa ini?
Nasionalisme sebagai Zeitgeist
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu semangat yang tumbuh di dalam lubuk setiap insan dari suatu kelompok bangsa tertentu. Semangat itu merupakan roh pemersatu, yang mengikat dan menyatukan. Dalam semangat itu terkandung cita-cita, harapan ideal yang mau dikejar, baik itu cita-cita yang disepakati dalam suatu konsensus bersama maupun yang lahir dari latar belakang sejarah yang sama. Cita-cita itu berakar pada penemuan akan realitas hidup yang ada, pada situasi tidak menentu, bahkan pada situasi chaos melalui suatu refleksi bersama. Dalam cita-cita itu yang lama hendak ditinggalkan dan yang baru mau dikembangkan.
Sejarah peradaban dan kemajuan hampir semua bangsa di dunia menunjukkan secara eksplisit bahwa nasionalisme merupakan roh yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman, dan karena itu dapat disebut sebagai roh zaman, Zeitgeist. Ditarik ke dalam konteks Indonesia, maka nasionalisme itu muncul secara khas dalam setiap kurun waktu dan generasi. Masing-masing generasi memberi titik tekanan tersendiri pada nasionalisme yang dibangun.
Demikianlah, di zaman penjajahan nasionalisme itu tumbuh sebagai roh untuk melawan dan menentang penjajah. Dalam zaman kemerdekaan titik tekanan bergeser pada semangat untuk membangun menuju cita-cita nasional. Meski menemukan bentuk dan mengambil modus dalam masing-masing kurun waktu, semangat dasarnya tetap sama. Yang berbeda cuma pengungkapan dalam bahasa. Inti muatannya tetap satu dan sama.
Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang 'negara kebangsaan' di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep 'pembangunan bangsa' yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi.
Sembilan tahun sudah reformasi berjalan. Meski tidak melalui suatu manifesto, agenda pokok yang disemangati reformasi ini sangat jelas: mereformasi jalan meraih cita-cita, ideal yang telah digelorakan sedari awal. Pada awal tualangnya, reformasi mendapat sambutan luar biasa. Pembusukan terhadap hampir setiap aras hidup yang dilakukan masa sebelumnya membangkitkan euforia yang tak terbendung. Bagai orang yang dalam keadaan 'ekstase' warga bangsa ini hanyut dalam kegembiraan tak terkatakan ketika keranda orde baru diusung ke liang lahat pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai ikon orde baru.
Tetapi setelah sembilan tahun berjalan, roh, semangat reformasi itu belum banyak memberi makna, belum kunjung menafasi roh para pemimpin. Justru sebaliknya roh reformasi itu cenderung meredup. Presiden BJ Habibie digantikan Gus Dur. Gus Dur berhenti di tengah jalan dan Megawati Soekarnoputri naik tahta. Megawati berhenti dan Susilo Bambang Yudhoyono memegang kemudi republik ini.
Tetapi dari empat presiden ini, apa yang dituai? Perubahan signifikan apa yang telah direngkuh? Apa gerangan geliat kemajuan yang terlihat? Korupsi yang menggurita, utang luar negeri yang membelit, meningkatnya angka kemiskinan, meroketnya pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, merosotnya kewibawaan moral dan integritas para pemimpin pada galibnya merupakan pengejawantahan dari meredupnya tiupan reformasi itu.
Menghargai pluralisme
Sesungguhnya ada begitu banyak sebab mengapa reformasi belum mereformasi tata laku, pola tindak, paradigma berpikir dan cara hidup warga bangsa ini sebagai masyarakat madani yang dicita-citakan bersama.
Menurut hemat saya, salah satu sebab lain yang cenderung dianggap sepele adalah betapa kita masih begitu lemah menghargai pluralisme. Luas wilayah yang mencengangkan, latar belakang budaya yang kaya, bahasa yang beragam, adat istiadat yang majemuk, suku yang banyak, golongan dan agama yang beraneka niscaya mengimplikasikan adanya pluralisme yang tidak bisa dihindari. Sejatinya, pluralisme apa pun juga model dan bentuknya, merupakan suatu kekayaan yang sangat berguna. Tetapi itu hanya terjadi jika dan hanya jika pluralisme itu dipandang dan dikelola dengan benar dan baik. .
Kasus-kasus pertikaian yang terjadi di Tanah Air lebih sering memperlihatkan pertikaian di antara suku, etnis, agama, golongan yang berbeda. Begitu sering kita terpola pada cara pandang sempit dengan menempatkan sama saudara yang lain sebagai 'mereka', 'orang lain'. 'Mereka' itu bukan 'kita', bukan 'orang kita.' 'Mereka' itu adalah 'orang lain', orang di luar 'kelompok kita'.
Perbedaan suku atau etnis dan cara pandang seperti ini akan sangat mudah menjadi api yang membakar nafsu dan menyulut amarah. Tetapi jika perbedaan, pluralisme itu dipandang sebagai potensi, kekayaan, maka dia akan menjadi kekuatan yang luar biasa dinamis dan besar sebagai modal dan aset membangun bangsa.
Harus disadari bahwa pluralisme dalam pelbagai aspek dan bidang kehidupan merupakan causa interna terhadap keruntuhan bagi suatu bangunan sosialitas. Fakta adanya pluralisme sekaligus juga memperlihatkan potensi kehancuran akibat kerapuhan dari pluralisme itu sendiri. Ibarat pisau, jika digunakan dengan benar akan menguntungkan, salah digunakan akan merugikan.
Sejarah banyak bangsa menunjukkan bahwa kerap kali pluralisme yang terlanjur berkembang menjadi pluralisme sempit tumbuh menjadi sumbu pemicu meledaknya berbagai konflik. Pengalaman Indonesia kuat menjelaskan betapa pluralisme yang mengental dalam sentimen sempit mampu mereciki api kerusuhan. Padahal bila dilacak dalam sejarah, terlihat bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya suku-suku bangsa yang menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, ke arah bersatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan negara bangsa.
Proses ini sebetulnya menunjukkan bahwa bangsa ini sangat kuat dicirikan oleh pluralisme, baik itu suku, ras, agama, golongan maupun etnis dan bahkan kebudayaan. Maka mengkhianati pluralisme dan kemudian menjadikannya senjata untuk terlibat dalam konflik adalah pengkhianatan terhadap fondasi historis bangsa ini.
Sikap atau semangat yang dibutuhkan dalam membangun bangsa yang beradab adalah menghargai pluralisme. Yang dimaksud dengan pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan dan bahkan menumbuhkan keadaan yang bersifat plural, jamak, majemuk. Dalam konteks kehidupan berbangsa, maka pluralisme merujuk pada sikap bahwa semua suku, ras, agama, golongan warga bangsa punya niat yang sama, yakni membangun suatu kehidupan yang lebih baik.
Pluralisme, karena itu, harus disikapi sebagai suatu landasan bagi kelangsungan hidup berbangsa. Mesin politik orde baru memang membabat habis pucuk-pucuk kehidupan yang melahirkan kemajemukan. Mesin tersebut berjalan lurus ke arah sebuah tatanan politik yang monolitik, uniform, dominatif dan militeristik-otoriter. Sikap anti pluralisme sebenarnya mencerminkan sikap anti terhadap kontrol.
Pluralisme mengedepankan pengakuan terhadap keragaman dengan ciri menonjol terdapatnya ruang dan media bagi perbedaan. Lebih jauh dari itu, semangat pluralisme mampu menghindarkan dan mencegah prinsip mayoritas melalui pemilu menjadi sebuah sistem demokrasi yang fasis. Dalam arti ini, pluralisme tidak lagi berbicara tentang dominasi mayoritas terhadap minoritas, tetapi tentang bagaimana aspirasi semua kelompok mendapat kesempatan yang sama dan adil untuk diekspresikan. Boleh dibilang, gagasan tentang pluralisme menjadi institusi sosial terpenting bagi perlindungan eksistensi nilai, idiologi, kepentingan dan aspirasi politik individu dan kelompok masyarakat.
Hanya dengan menghargai pluralisme, nasionalisme dapat dihayati secara benar. Dalam roda perjalanan waktu, nasionalisme itu semestinya dihayati sebagai perburuan tanpa tepi. Bangsa besar lagi kaya raya ini terlalu lama berada dalam kondisi statis, tanpa banyak geliat meraih masa depannya. Karena itu untuk menggapai cita-cita bersama bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang mau berubah, pemimpin yang punya good will dan political will untuk mengubah wajah bangsa ini. Pemimpin yang mau berubah adalah pemimpin yang menghargai pluralisme, yang tidak ingat diri, tidak melihat latar belakang suku, agama, etnis atau golongannya.
Sudah enam presiden mengemudi bahtera besar Indonesia ini. Sejujurnya, kebanyakan mereka lebih menampilkan sosok politisi ketimbang pemimpin. Pemimpin yang terlalu kuat paham politiknya cenderung mengelola negara dengan lebih banyak mempertimbangkan aspek dan pertimbangan politik. Pemimpin seperti ini mudah goyah diterjang gelombang kepentingan politik. Idealisme luhur, slogan yang dikampanyekan mudah goyah dihantam badai oportunisme. Sekali memegang kemudi, dia akan memegangnya dengan angkuh.
Kekuasaan di tangan penguasa yang angkuh dan memposisikan diri sebagai dewa yang omnipotens (penuh kuasa) memungkinkannya mendesain model politik yang lebih menggarisbawahi supremasi politik dan supremasi kekuasaan atas segala kualitas lain yang disyaratkan dalam suatu sosialitas. Eksplisitasinya jelas dan nyata terlihat : pasal-pasal hukum menjadi seperangkat aturan yang menjerat rakyat yang melawan, norma moral menjelma menjadi aturan non formal yang mengatur bagaimana rakyat mesti sujud menyembah. Tak heran panggung pengadilan lebih kerap menjadi panggung sandiwara. Keputusan pengadilan telah ditentukan jauh-jauh hari sebelum proses persidangan. Dan, banyak orang bingung masuk penjara tanpa pernah mengetahui apa dosanya.
Supremasi politik dan kekuasaan di negeri ini tampaknya masih terlalu pongah berdiri. Para mahasiswa telah berkorban menjadi martir melahirkan reformasi. Tetapi keadaan belum banyak berubah. Apakah reformasi perlu berinkarnasi dan menjadi revolusi? Entahkah titik gravitasi reformasi perlu digeser?
Dengan proyek mercusuarnya Soekarno membawa bangsa ini berkubang dalam krisis ekonomi. Dengan doktrin stabilitas nasional, Soeharto mewariskan bangsa ini suatu rancang bangun politik dan ekonomi yang kuat tetapi semu dan sangat rapuh. Dengan harapan akan kemajuan di bidang teknologi, BJ Habibie gagal menerbangkan bangsa ini tinggal landas. Dengan gaya humornya, Gus Dur sering menganggap kecil persoalan-persoalan besar yang dihadapi. Dalam diamnya, Megawati tidak banyak bicara menghadapi multikrisis yang mendera. Quo vadis Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono? Mudah-mudahan sejarah perubahan Indonesia bukan history of no change.
* Penulis, wartawan Pos Kupang
Pluralisme : modal membangun bangsa
Senin, 21 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar