Oleh : Tony Kleden
TAK disangkal lagi kalau Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Posisi mayoritas ini lalu sangat mewarnai dan memberi arti bagi setiap jejak langkah perjalanan bangsa. Bulan puasa, misalnya, menjadi rentangan waktu yang sangat khas Islam. Di mana-mana digelar seminar, sarasehan, dakwah tentang Islam. Media cetak pun elektronik tampil dengan ulasan juga dalam nada dasar tentang Islam.
Tujuan apa yang hendak digapai oleh pencarian setiap muslim di bulan puasa khususnya? Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa muara setiap ziarah pencarian adalah perdamaian dengan Allah. Karena seturut arti katanya Islam mengandung makna "masuk dalam perdamaian". Masuk dalam perdamaian berarti berdamai dengan Allah dan manusia.
Buat setiap agama berdamai dengan manusia mengimplikasikan suatu kerelaan untuk keluar dari benteng pemahaman yang sempit tentang agama sekaligus kesudian untuk meninggalkan segala lagak triumfalisme dan kecongkakan. Dalam rumusan lain, berdamai dengan manusia berarti memiliki sikap dialog dengan sesama penganut agama lain. Dalam konteks ini rasanya tetap relevan untuk sekali lagi di kesempatan emas menyiapkan diri dan hati untuk berdamai dengan Allah dan manusia kita merumuskan kembali dialog antar agama. Bukan lagu baru, tentu saja, tapi juga bukan tanpa guna.
Sudah menjadi suatu pemandangan yang biasa bahwa dialog yang terjadi ternyata bukan suatu upaya yang mulus. Selain karena ketidakjelasan memetakan locus sociale sebagai basis dialog, sikap kita terhadap agama lain amat main peranan dalam menentukan bobot suatu dialog. Hal terakhir ini menyangkut apa yang dinamakan optio fundamentalis (sikap dasar) terhadap agama-agama lain.
Tiga paradigma
Banyak ahli akhir-akhir ini menggolongkan optio fundamentalis terhadap agama-agama lain ke dalam tiga paradigma dasar. Ketiga-tiganya paling kurang dapat mempengaruhi dan menentukan intensitas suatu dialog. Pada tatanan teoritis sikap menerima atau menolak komitmen iman dari golongan lain merupakan cerminan dari sikap dasar tertentu terhadap agama-agama lain yang dianuti. Begitu pun hal serupa dapat kita jumpai dalam praktek hidup sehari-hari. Kekerasan dan ekstremitas, toleransi dan lapang dada tak lain merupakan ekspresi dari optio fundamentalis paradigmatis mana yang dipegang.
Pertama, paradigma eksklusif. Para penganut paradigma ini mengklaim tidak adanya keselamatan di luar agamanya. Agama-agama lain cuma dipandang baik dalam dirinya sejauh ia merupakan hasil refleksi budi-manusia, bukan sebagai mediasi keselamatan. Tidak ada wahyu dalam agama-agama lain kecuali dalam agama kaum eksklusif sendiri.
Berbagai upaya menarik penganut agama lain untuk memeluk agama kaum eksklusif merupakan hal yang biasa dan amat mendesak demi mengurangi kekafiran. Kekerasan berupa intimidasi dan aneka tradisi penaklukkan serta peperangan justru tak lain atas nama Allah yang disembah dalam agama seperti ini. Dialog tidak punya tempat buat penganut paradigma eksklusif, atau kalau pun ada justru karena faktor-faktor yang non agama misalnya kekerabatan atau relasi keturunan.
Kedua, paradigma inklusif. Paradigma ini mengakui adanya rahmat dan wahyu dalam agama-agama lain dan karenanya dimaklumi pula bahwa setiap agama adalah mediasi keselamatan bagi para pemeluknya. Akan tetapi paradigma inklusif mengklaim relatifnya peran agama lain sebagai jalan yang benar untuk memperoleh keselamatan. Agama kaum inklusif adalah agama yang mutlak benar, sedangkan keselamatan melalui agama lain tak lebih dari sekadar pancaran keselamatan dalam agamanya. Prinsipnya ialah bahwa wahyu yang otentik dan kemungkinan keselamatan cuma terdapat dalam agama kaum inklusif. Sebaliknya apa yang kiranya dapat diperoleh melalui agama lain adalah sebagian dari keselamatan paripurna dalam agama kaum inklusif.
Ketiga, paradigma pluralis. Penganut paradigma ini lebih suka menerima semua agama sebagai jalan yang absah untuk memperoleh keselamatan. Retorika para penganut paradigma ini lazimnya bertolak dari aksioma bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi semua manusia.
Menurut para penganut paradigma pluralis, setiap manusia memiliki keterbukaan eksistensial terhadap yang supernatural. Horizon supernatural yang termasuk kodrat manusia sendiri membuat manusia memiliki sikap menerima yang supernatural karena hal itu muncul pada horizonnya. Akan tetapi tetap digarisbawahi satu hal penting bahwa manusia adalah makhluk yang berkodrat sosio-historis dengan sejarah yang berbeda-beda. Jika rahmat keselamatan Allah menjadi nyata secara universal, maka ia harus mengambil bentuk sosio-historis. Ia harus menjadi badan, tulang, peristiwa dan simbol. Hal ini terjadi dalam sejarah di dalam agama-agama yang berbeda-beda yang mengandung rahmat, yang menghantar kepada keselamatan dalam kenyataan sosio-historis. Kesimpulannya sederhana, rahmat Allah yang menyelamatkan tidak sampai kepada seorang pribadi di luar agama dan kepercayaannya, melainkan di dalamnya.
Pandangan di atas sama sekali tidak menafikan agama. Sebaliknya ia meneguhkan agama sebagai mediasi simbolis untuk berelasi dengan Allah. Secara fenomenologis relasi itu mendapat bentuk dan ekspresinya dalam konteks kebudayaan dan sejarah. Bentuk konkretnya adalah ritus, doktrin, etika dan institusi atau lembaga agama.
Karenanya setiap agama mempunyai karakter absolut dan relatif. Hubungan personal sebagai komitmen dalam iman mempunyai karakter absolut terutama karena ia berhubungan dnegan Yang Absolut (Tuhan). Sedangkan segala ekspresi simbolis yang dikondisikan oleh faktor-faktor kultural dan historis pada dasarnya bersifat relatif. Hubungan yang absolut dan yang relatif seperti hubungan tubuh-jiwa, dua hal yang berbeda tapi tak terpisahkan. Setiap agama adalah relatif dalam hubungannya dengan Yang Absolut (Tuhan), bukan relatif dalam relasinya dengan agama-agama lain. Kesalahan dan kekeliruan dapat saja terjadi pada tahap ini mengingat misalnya oleh keterbatasan manusia menafsirkan wahyu Allah melalui nabinya.
Konteks Indonesia
Pluralisme agama diakui di Indonesia. Malah toleransi dan kerukunan beragama merupakan konsep final bangsa Indonesia bagaimana mengejawantahkan jiwa dan pasal 29 UUD 1945. Problemnya adalah bagaimana menggariskan implementasi konsep tersebut agar menghindari kemungkinan pluralisme agama-agama sebagai sumber ketegangan nasional.
Memang diakui selama ini kita berhasil membina kelangsungan pluralisme agama-agama. Prestasi ini ternyata luar biasa dibandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi sebagaimana sudah amat diketahui, persepsi kita mengenai kerukunan beragama yang nyata melalui seruan-seruan, imbauan dan berbagai produk hukum yang mengaturnya tidak dengan sendirinya cukup untuk menghindari pertentangan antar agama dengan modus apa pun. Masih saja kita dengar adanya keretakan-keretakan antar agama yang berlangsung di beberapa tempat. Ironisnya justru hal ini terjadi pada saat kita sebagai suatu bangsa yang besar semakin merasa senasib dan sepenanggungan mengejar ideal bersama yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam referensi paradigma pluralis kini tiba saatnya memulai dialog saling memahami dan saling menghormati yang bermula dari apa yang paling universal, yaitu pengalaman iman akan Allah dalam masing-masing agama. Titik tolaknya bukan lagi faktor-faktor relatif, melainkan Allah yang menawarkan bonum (kebaikan) kepada para hambanya dalam masing-masing agama. Dalam Allah kita adalah satu karena Allah berhati lapang yang merangkul kita semua dalam kelembutan dan kasih sayang, kata Muhammed Khaled, seorang Syeikh dari Universitas Al-Azhar tahun 1958.
Konteks dialog antar agama adalah komunitas orang-orang sebagai suatu bangsa yang hidup dalam budaya dan struktur sosio-politis yang sama. Agama dengan segala unsurnya antara lain doktrin, ritus dan etika tetap diakui sebagai komitmen iman akan Allah yang sama, akan tetapi semuanya itu dihayati dalam konteks kita sebagai suatu bangsa yang besar yang mempunyai masalah dan keprihatinan sendiri, berbeda dengan ketika para nabi menerima wahyu. Agama-agama diharapkan dapat berperan sebagai kekuatan dalam konteks para pemeluknya hic et nunc. Yang dibutuhkan sekarang adalah kooperasi antar agama untuk memperjuangkan bonum commune (kebaikan umum) berupa keadilan dan kesejahteraan semua orang. Hal-hal yang baik inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah untuk diperjuangkan para hambanya.
Ada satu hal yang tetap sama, yakni bahwa di tengah-tengah kemajemukan realitas dunia dan aneka tuntutannya, kita semua memiliki semacam kerinduan umum yaitu keadilan dan perdamaian, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan kesejahteraan. Kerinduan seperti ini dirasakan lebih-lebih oleh begitu banyak kaum yang hak mereka diperkosa, kaum lemah serta kaum miskin di tengah-tengah kita. Agama-agama secara bersama-sama mestinya mampu memenuhi kerinduan umum akan pembangunan yang secara moral dapat dipertahankan dan secara rohani sanggup memenuhi hasrat serta dapat menciptakan keadilan. Hal seperti inilah yang disebut bonum, yang dikehendaki oleh Allah.
Iman kita masing-masing akan Allah yang menghendaki kebaikan bagi semua manusia, itulah yang menjadi basis moral bersama. Karenanya pada level yang lebih tinggi yaitu antara alim ulama dari masing-masing agama, dialog dapat dilakukan secara lebih menyeluruh menyangkut masalah-masalah eksistensi-manusiawi. Misalnya dapat diupayakan suatu penalaran bersama (moral reasoning) dalam basis moral yang sama yaitu Allah yang menghendaki kebaikan bagi siapa saja.
Yang mendesak bagi kita sekarang adalah membuang jauh-jauh sikap antagonistik. Dialog tak terlaksana dalam hubungan-hubungan antagonistik apa pun. Dialog adalah perjumpaan cinta seperti Allah yang mencintai kita semua. Perjumpaan cinta tidak mungkin berupa perjumpaan antara pihak-pihak yang bertentangan.
Media Indonesia, Sabtu 25 Februari 1995
Hikmah Puasa:
Senin, 21 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar