SBY-MJK: dwitunggal - dwitanggal?

Senin, 21 Januari 2008

Oleh: Tony Kleden

HARI ini, presiden ke-6 negara besar ini dilantik. Dwitunggal Susilo Bambang Yudhoyono, yang populer dengan akronim SBY, dan Muhamad Yusuf Kalla (MJK), tampil ke atas pentas utama panggung sejarah negeri ini. Tak banyak literatur yang menulis dan mengupas tentang kedua sosok ini. Sangat berbeda dengan Megawati Soekarnoputeri, yang demikian besar magnitudenya saat awal ketika tampil sebagai sosok populis, yang di-taken for granted-kan sebagai figur yang punya notion pro masyarakat kecil. Tetapi, setiap babakan sejarah selalu punya Zeitgeist yang kemudian melahirkan tokoh pada zamannya. Begitu juga dengan sejarah negeri ini, yang mewariskan sederetan tokoh yang merengkuh perjuangan hingga ke puncak tangga kekuasaan.
Perjuangan menentang penjajah mendapat icon dalam diri Soekarno. Soekarno naik ke tampuk pemerintahan dengan menggotong demokrasi terpimpin. Resistensi terhadap modus demokrasi itu kemudian melahirkan orde baru di bawah Soeharto. Meski mengusung kredo mulia: menjalankan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya orde baru justru membalikkan demokrasi terpimpin menjadi otokrasi.
Selama 32 tahun, rakyat negeri ini hidup di bawah bayang-bayang kesemuan. Kemakmuran semu, kesejahteraan semu, stabilitas ekonomi semu, dan keamanan semu. Otokrasi di bawah orde baru melahirkan sederetan kesenjangan yang amat besar. Keadaan kemudian tak tertahankan. Puncak arus balik tercapai. Gerakan reformasi pun meletus. Soeharto lengser dan orde baru menuju liang lahatnya. Habibie tampil di awal orde reformasi. Meski seumur jagung, harus diakui di bawah Habibielah benih-benih demokrasi mulai bersemi.
Dianggap anak kandung orde baru, Habibie kalah pamor dalam pertarungan dengan Gus Dur. Meski secara fisik kurang mendukung, adalah Gus Dur yang mengajarkan rakyat negeri ini untuk bagaimana menata rancang bangun negara yang demokratis. Di bawah Gus Dur, rakyat negeri ini secara plastis mengekspresikan dirinya, berani mengritik pemerintah, nekat menggelar aksi demo menentang kezaliman. 'Prestasi' Gus Dur justru menjadi bumerang baginya. Dianggap kebablasan, Gus Dur ditelikung di tengah jalan dan digantikan Megawati Soekarnoputeri.
Tiga tahun lebih Megawati menakhodai republik ini. Gilang-gilang kemajuan dicapai. Tetapi, banyak juga harapan yang tak kunjung terjawab. Rakyat kemudian menginginkan nafas baru, semangat baru, spirit baru, mesias baru. Harapan akan mesias itu, boleh dibilang, tergenapi dalam diri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia harus dapat disebut sebagai mesias karena dipilih rakyat secara langsung. 'Rakyat sosiologis' yang secara langsung mendatangi TPS pada pemilu presiden memberikan dukungan padanya. Dia bukan pilihan 'rakyat MPR' yang lebih sering 'berjarak' dengan rakyat sosiologis.
Tetapi, seperti apakah mesias itu? Yang diketahui cumalah penampilan luarnya. Ganteng, berwibawa, murah senyum, brilian, rendah hati. Menurut banyak analis, penampilan lahiriah inilah yang menyedot animo dan mampu menghipnotis massa memilih SBY dalam piplres dua putaran kali lalu. Karakter dan watak tradisional dalam diri pemilih Indonesia mengafirmasi kemenangan SBY.
Tetapi, benarkah SBY hanya laku karena tampang? Wallauhalam! Adalah Herman Musakabe yang banyak bercerita tentang sederetan keunggulan SBY sehingga layak jual. Dalam suatu kesempatan wawancara dengannya di Kupang, Selasa 15 Juni 2004 lalu, orang yang sangat dihormati SBY ini, mencoba membuka tirai tentang 'ruang dalam' SBY.
Sebagai orang yang dilahirkan di keluarga militer, dididik dengan disiplin militer ketat dan mengenyam pendidikan militer, sudah tentu pribadi SBY tak jauh berbeda dari karakter dan watak khas militer. Dan, memang di jalur ini, SBY betul-betul konsisten pada jalannya. Berbagai jabatan militer dipegangnya dengan penuh keberhasilan. Didukung kemampuan intelektualnya yang cemerlang, bintang SBY di jalur militer melesak cepat bak meteor. Dari komandan lapangan di Timor Timur, SBY cepat beralih ke sekolahnya para taruna angkatan darat (baca: Seskoad) di Bandung. Dari Bandung, dia meniti jenjang kepemimpinan di tubuh angkatan darat. Banyak yang memperkirakan, SBY akan segera naik ke puncak menara angkatan bersenjata di negara ini.
Tetapi, guratan nasibnya mulai beralih di era kepemimpinan Gus Dur. Jejak langkah SBY bergeser. Meski disiapkan menjadi KSAD oleh Panglima TNI ketika itu, Jenderal Wiranto, Gus Dur selaku presiden berkehendak lain. SBY ditarik masuk ke kabinetnya menjadi menteri pertambangan dan energi (Mentamben), suatu jabatan yang sama sekali sulit dibayangkan oleh dan dapat ditarik korelasinya dengan seorang tentara aktif. Loyalitasnya pada negara menjadi dorongan mengapa SBY menerima permintaan Gus Dur. Ketika Gus Dur merombak kabinetnya, SBY dipercayakan menjadi menko polsoskam.
Loyalitas, negarawan, integritasnya mendapat ujian lagi ketika Gus Dur memintanya mengemban Maklumat Presiden RI pada tanggal 28 Mei 2001. Isi maklumat itu betul-betul menantang setiap orang yang haus kekuasaan: ".... berhubung situasi politik darurat karena adanya kontroversi kemungkinan SI MPR dan dekrit presiden, presiden memerintahkan menko polsoskam untuk mengambil tindakan dan langkah khusus yang diperlukan guna mengatasi krisis serta menegakkan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya."
Jika saja SBY orang serakah, dia akan dengan sangat gampang mengambil alih kekuasaan. Ingat, peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru! Ditantang dengan godaan itu, SBY menentukan sikapnya. Kepada para menteri dan juga kepada rakyat yang mencemaskan kondisi waktu itu, SBY mengatakan ia akan tetap berpijak pada konstitusi, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Wajahnya yang polos lebih mengekspresikan hatinya yang lurus, tanpa kepalsuan. Senyumnya bukan senyum seorang despotik, yang menebar racun menjerat mangsa. Dia benar-benar menampilkan dirinya sebagai seorang demokrat tulen, berjiwa independen dan teguh pada konstitusi. Itulah sebabnya, terhadap godaan merebut kekuasaan, SBY sering berujar, "Negara dulu, baru orang."
Lima tahun ke depan, mesias yang demokrat, independen dan konstitusionalis itu akan membawa biduk Indonesia ini berlayar. Ada sejumlah keraguan yang seolah mengganjal. Mampukah SBY menempatkan pluralisme menantang isu Syariat Islam? Sanggupkah SBY menanggalkan seragam tentaranya membendung isu militerisme?
Keraguan itu jauh-jauh hari telah dijawab secara elegan dan cerdas oleh SBY melalui programnya, "Konsensus 4-2-2". Empat pertama adalah : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika (pluralisme). Dua yang kedua adalah: "Indonesia bukan dan tidak boleh menjadi negara komunis"; "Indonesia bukan dan tidak boleh menjadi negara agama." Sedangkan dua terakhir adalah : "Negara harus mencegah dan menumpas gerakan separatisme" dan "Negara juga harus mencegah dan menumpas terorisme."
Tetapi konsensus ini adalah formulasi lain dari tekad lima presiden sebelumnya. Intinya tetap satu dan sama: menuju Indonesia yang jaya, mandiri, aman, adil dan sejahtera. Tetapi selama memerintah, masing-masing presiden menerjemahkan tekad itu menurut versinya. Selama 20 tahun Soekarno konsisten membangun Indonesia dengan menggalang kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu lewat 'revolusi terus menerus'. Tak setuju dengan model ini, Wakil Presiden, Bung Hatta mundur. Para elite dan rakyat berlomba memusatkan pikiran dan tenaga untuk berperan dan berkuasa dalam gelombang revolusi itu. Modal mereka hanya lidah dan mulut, alias menjilat dan memuji. Mereka lupa bagaimana bekerja di bidang kehidupan lain, yang akhirnya justru berantakan. Akhirnya, dengan revolusi itu pemerintahan Soekarno berakhir menyedihkan. Dwitunggal Soekarno-Hatta lepas dan menjadi dwitanggal.
Jenderal Soeharto melanjutkan garis Bung Karno. Tidak berbeda dengan Soekarno, Soeharto juga menggalang kekuasaan dan menggunakannya, tetapi dengan semangat dan cara yang malah antirevolusioner. Tak ayal, selama 32 tahun gelombang revolusi diganti dengan gelombang pembangunan. Dalam versi Soeharto, gelombang pembangunan itu diterjemahkan menjadi gelombang menguras sumber-sumber kekayaan bangsa. Tragisnya, gelombang pembangunan itu justru membawa malapetaka. Soeharto tampil karena petaka 1965, dia juga turun karena petaka 1998. Dwitunggal Soeharto-Habibie juga tanggal.
Si genius Habibie mencoba melanjutkan estafet. Sayang, mengurus negara tidak cuma butuh kegeniusan, tetapi juga kemampuan manajerial. Maka, usia Habibie tidak lama, cuma mengisi kekosongan jabatan. Ahli pesawat terbang ini digantikan dwitunggal, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, ekspektasi rakyat demikian membuncah. Duet ini disebut sebagai perpaduan yang sangat serasi. Tetapi apa lacur? Agaknya Gus Dur 'terlalu maju' dalam pikiran dan gagasan. Dwitunggal ini akhirnya juga tanggal di tengah jalan.
Sebanyak 69.266.350 (60,62 persen) pemilih dari sekitar 120 juta warga telah menjatuhkan pilihannya pada SBY. Tentu saja pilihan itu selalu punya harapan. Setimpuk harapan telah, masih dan akan terus ditimpakan di pundak mesias yang telah datang itu. Sebagai seorang demokrat, independen dan konstitusionalis, SBY paling tahu apakah dia akan menempatkan diri sebagai negarawan (statesmen) atau politikus (politician). Pasti sang mesias kita ini juga paham apa yang pernah dikatakan Georges Pompidou, "A politician is a statesmen who places the nation at his service. A statesmen is a politician who places himself at the service of the nation."
Akankah SBY-MJK, yang dikawinkan menjadi dwitunggal di Hotel Garden Palace, Surabaya, Jumat 7 Mei 2004 lalu, juga berakhir tragis menjadi dwitanggal? Mudah-mudahan, sejarah Indonesia lima tahun ke depan tidak mengambil tema antagonisme dengan ending tragedi.
* Penulis, wartawan Pos Kupang
Pos Kupang, Rabu 20 Oktober 2004

0 komentar:

Posting Komentar